Pilihan
Puluhan Destinasi Wisata Tumbuh di Kawasan Hutan di Sumbar
Ketum PSSI, Erick Thohir Datangkan Direktur Teknik dari Jerman
Ustad Abdul Somad Geram Panji Gumilang Ajarkan Salam Yahudi di Ponpes
PUPR Targetkan Perbaikan Jalan Daerah Dimulai Juni 2023
Mahfud MD: Jika Informasi Dikelola Tertutup, Maka Negara Otoriter
Utang RI Bisa Lunas Kalau Urunan Rp 24 Juta/Orang
JAKARTA, PROPERTYBISNIS - Utang pemerintah pusat mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di akhir Mei ini, utang pemerintah mencapai Rp 6.418,15 triliun.
Utang ini naik Rp 1.159,58 triliun dibandingkan posisi Mei 2020 yang mencapai Rp 5.258,57 triliun. Kenaikan utang yang besar ini disebabkan oleh penanganan pandemi Covid-19 yang membutuhkan anggaran besar.
Adapun total utang pemerintah ini didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,94% dan pinjaman sebesar 13,06%. Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp 5.580,02 triliun dan utang melalui pinjaman tercatat Rp 838,13 triliun.
Namun, jika melihat ke belakang, tren kenaikan utang telah terjadi sebelum ada pandemi Covid-19. Bahkan sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertama lalu yakni 2014.
Utang pada saat awal Presiden Jokowi memimpin hingga saat ini alami kenaikan lebih dari dua kali lipat.
Pada akhir tahun 2014, utang pemerintah tercatat hanya pada angka Rp 2.608 triliun dan saat ini melonjak lebih dari Rp 6 ribu triliun. Begitu pula dengan rasio utangnya.
Pada akhir 2014 rasio utang pemerintah berada di level 24,7% dan hingga akhir Mei 2021 meningkat menjadi 40,49% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia maka per orang menanggung beban dari utang pemerintah ini sebesar Rp 23,75 juta. Ini berasal dari utang yang telah menggunung mencapai Rp 6.418,15 triliun tersebut.
Sebagai informasi, jumlah penduduk Indonesia saat ini berjumlah 270,2 juta jiwa. Jumlah ini berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada 2020 lalu.
Utang yang semakin menggunung ini pun menjadi perhatian bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Instansi audit keuangan negara ini khawatir pemerintah tak mampu membayar utang tersebut.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
"Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," jelas Agung Firman dalam Rapat Paripurna pekan lalu.
BPK melaporkan, realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun lalu sebesar Rp 1.647,78t triliun atau mencapai 96,93% dari anggaran.
Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu sebesar Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75% dari anggaran. Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14% dari PDB.
BPK juga mengungkapkan bahwa utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) yakni, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25% - 35%.
Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6% - 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7% - 19%. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92% - 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90% - 150%. (cnbc indonesia/wan)
Tulis Komentar