Rupiah Tembus Rp15.000, Neraca Perdagangan Menjadi Persoalan?

Selasa, 17 Maret 2020

Petugas menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Senin (16/3/2020). (Foto: Bisnis - Arief Hermawan P)

JAKARTA - Rupiah menembus level Rp15.000 per dolar AS pada perdagangan Selasa pagi (17/3/2020) seiring dengan aksi jual mata uang negara berkembang akibat penyebaran virus corona.

Mengutip data Bloomberg, pada perdagangan Selasa (17/3/2020) pukul 10.11 WIB, mata uang rupiah melemah 0,55 persen atau 82,5 poin menjadi Rp15.015 per dolar AS. Pelemahan rupiah menjadi ketiga yang terbesar di antara mata uang Asia lainnya. Di peringkat pertama, won Korea Selatan turun 1,31 persen menjadi 1.241,91, selanjutnya peso Filipina menurun 0,69 persen.

Adapun, indeks dolar AS merosot 0,06 persen atau 0,06 poin menjadi 98,01. Sebelumnya pada penutupan kemarin, indeks yang mengukur pergerakan dolar terhadap sejumlah mata uang utama lainnya itu berada di level 98,07.

Pergerakan kurs mata uang di Asia terhadap dolar AS Selasa (17/3/2020) pukul 10.25 WIB
Mata uang Kurs Pergerakan (persen)
Rupiah                              15.015 -0,55
Won Korea Selatan 1.241,91 -1,31
Baht Thailand 32,094 -0,13
Ringgit Malaysia 4,3260 -0,43
Peso Filipina 51,394 -0,69
Dolar Taiwan 30,249 -0,18
Yen Jepang 106,32 +0.46
Rupee India 74,2725 -0,49
Dolar Singapura 1,4200 +0,06
Yuan Onshore China 6,9937 -0,01
Dolar Hong Kong 7,7672 -0,01

Analis Bloomberg menyampaikan mata uang pasar berkembang menghadapi aksi jual lebih lanjut hingga 30 persen karena penyebaran wabah corona menyebabkan saham AS turun sebanyak yang terjadi pada masa dalam krisis keuangan global.

Analisis menunjukkan mata uang dari negara-negara dengan defisit neraca berjalan dan pasar keuangan yang relatif tidak likuid menjadi yang paling rentan terhadap kekuatan dolar. Ini termasuk sejumlah negara di Amerika Latin, bersama dengan Afrika Selatan, Indonesia, dan India.

Sebaliknya, mata uang dari negara-negara dengan surplus besar akan mengungguli, yaitu Thailand dan Taiwan. Namun, hal itu terkecuali untuk rubel Rusia. Meskipun Rusia memiliki surplus neraca berjalan, mata uangnya akan menghadapi kerugian besar karena fakta bahwa kemerosotan dalam ekonomi global biasanya mengarah pada penurunan harga minyak.

Sebetulnya, Neraca perdagangan Indonesia Februari 2020 mencatat surplus US$2,34 miliar, membaik dibandingkan dengan capaian bulan sebelumnya yang mencatat defisit US$640 juta.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengungkapkan bank sentral memandang surplus neraca perdagangan pada Februari 2020 berkontribusi positif dalam memperkuat ketahanan eksternal perekonomian Indonesia.

Neraca perdagangan nonmigas Februari 2020 tercatat surplus sebesar US$3,27 miliar, meningkat dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar US$530 juta. Perkembangan tersebut ditopang oleh kinerja positif ekspor nonmigas beberapa komoditas antara lain batu bara, CPO, dan beberapa produk manufaktur.

"Peningkatan surplus neraca perdagangan juga dipengaruhi impor nonmigas yang menurun, terutama untuk komoditas golongan mesin dan perlengkapan elektrik, antara lain sebagai dampak terganggunya gangguan rantai suplai global akibat Covid-19," ujar Onny.

Sementara itu, defisit neraca perdagangan migas pada Februari 2020 membaik menjadi sebesar US$930 juta, dari defisit US$1,17 miliar pada bulan sebelumnya. Penurunan defisit neraca perdagangan tersebut didukung berlanjutnya penurunan impor migas, terutama dalam bentuk hasil minyak dan gas, di tengah stabilnya ekspor migas ditopang oleh kinerja positif ekspor minyak mentah.

Mata Uang Asia Senin (16/3/2020)

Kemarin, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan tindakan The Fed yang cukup agresif memberikan sinyal yang kurang positif bagi pasar keuangan negara berkembang, sehingga investor memilih masuk ke aset safe haven kembali, tercermin dari pasar Asia yang sebagian besar juga terkoreksi.

Pada Senin (16/3/2020), Bank Sentral AS yang secara mendadak kembali memangkas suku bunga acuannya sebesar 100bps menjadi 0,25 persen. Pada awal Maret lalu Bank Sentral AS itu memotong suku bunganya sebesar 50bps menjadi 1,25 persen. Secara year to date total suku bunga acuan The Fed telah berkurang 1,5 persen.

Menurutnya, ini membuat pelaku pasar menganggap dampak ekonomi yang ditimbulkan dari wabah corona atau Covid-19 lebih parah dari yang diproyeksikan sebelumnya. Langkah The Fed memberikan efek domino yang membuat bank sentral lain turut memangkas suku bunga mereka dan merilis sejumlah kebijakan moneter.

“Sinyalnya jadi negatif. Ada apa kok sampai Bank Sentral AS sendiri sudah menurunkan 1,5 persen? Padahal sebelumnya assessment mereka masih cukup positif bahwa ekonomi AS masih kuat,” tuturnya Senin kepada (16/3/2020) Bisnis.com, .