Mudik Sambil Melihat Rumah Masa Kecil Buya Hamka yang Indah

Sabtu, 13 Mei 2023

Kamar tidur Buya Hamka, sang ulama dan sastrawan asal Sumatera Barat. (Int)

MUDIK ke kampung halaman sambil melihat rumah masa kecil Buya Hamka yang indah hanya bisa traveler lakukan di Agam, Sumatera Barat. Ini kisah perjalanannya:
Ada yang sudah menonton Film "Buya Hamka" yang tayang perdana di musim liburan lebaran kali ini? Sekedar info bagi yang belum tahu, saat ini tengah tayang di bioskop-bioskop berjaringan di seluruh Indonesia, Film "Buya Hamka".

Film itu adalah sebuah film biopik dari seorang ulama, sastrawan sekaligus pahlawan nasional yang bernama Hamka, yang diperankan oleh Vino G Bastian, serta didukung oleh Laudya Chinta Bella dan sederet nama tenar artis layar lebar nasional lainnya.


Bagi kamu yang sudah nonton atau pun belum, tentu akan lebih afdol lagi jika seandainya bisa punya waktu dan kesempatan untuk berkunjung langsung ke lokasi yang menjadi inspirasi dari alur cerita film tersebut, yaitu kampung Muaro Pauh di tepian Danau Maninjau, desa kelahiran Buya Hamka.

Maka atas dasar niat itu, perjalanan mudik ke kampung halaman kali ini memang telah direncanakan untuk "nyambi" berwisata ke kampung kecil yang merupakan satu titik diantara banyak kampung-kampung yang mengitari keliling danau Maninjau sepanjang 30 kilometer itu.

Agar bisa melewati tempat bersejarah bagi tokoh panutan umat islam di nusantara, bahkan hingga mancanegara ini, rute perjalanan mesti kami belokkan dari jalur biasa yang ditempuh jika hendak mudik ke Lubuk Basung Kabupaten Agam.

Biarpun rute ini membuat perjalanan pulang kampung menjadi sedikit memutar dan bertambah panjang jaraknya, namun pengalaman berharga yang didapatkan sangat sepadan. Kampung Muaro Pauh, di Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, kampung kecil di tepian Danau Maninjau yang indah, di sinilah kisah besar itu bermula.

Jika kita berangkat dari Kota Bukittinggi, baru saja selepas melewati daerah Kelok 44, jalanan yang terkenal akan tikungan-tikungan patah dan tajamnya sepanjang 7 kilometer, setelah jalan menurun panjang dikelok 1 kita akan menemui persimpangan dan berbeloklah ke kiri.

Tempuhlah jalanan mendatar menyusuri tepian danau yang keindahannya membius mata dengan udara pedesaan yang sangat segar. Sepanjang 6 kilometer menyusuri jalanan kampung yang kiri kanan perjalanannya didominasi oleh pemandangan danau, sawah dan perbukitan yang sangat memukau dan di sela oleh pemukiman-pemukiman penduduk khas pedesaan, sampailah kita di sebuah kampung yang bernama Muaro Pauh.

Si Malik, nama kecilnya, seorang bocah yang bertubuh pendek berisi dengan bermata nyalang dan tajam, yang di kemudian hari dicatat sejarah sebagai HAMKA, singkatan dari namanya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, seorang tokoh multi talenta yang dikenal sebagai sastrawan, sejarawan, jurnalis, ahli tafsir, dilahirkan di kampung ini.

Di sebuah lahan yang terletak di pinggang sebuah lereng bukit yang menghijau oleh pepohonan, berada di ketinggian beberapa meter dari muka jalan, sebuah rumah bergonjong dengan atap tanduk kerbaunya yang runcing khas Minangkabau, berdiri tepat berhadap-hadapan dengan hamparan Danau Maninjau yang luas terbentang dan membiru airnya.

Kini, rumah itu dinamai dengan Museum Rumah kelahiran Buya HAMKA yang telah dirintis pendiriannya pada tahun 2000 dan selesai pada tahun 2001. Bangunan museum ini sejatinya merupakan bangunan baru yang didirikan tepat di bekas tapak rumah kelahiran Hamka yang asli.

Menurut keterangan dari pengelola museum, seperti dikutip detikcom, rumah aslinya sudah lama roboh dan rata dengan tanah akibat dari perusakan dilakukan oleh pemerintah pendudukan kolonial tak lama setelah ayan beliau (Haji Rasul) ditangkap dan dibuang ke Jakarta karena dakwahnya dianggap melawan dan membahayakan pemerintahan pendudukan Jepang pada masa itu.

Dan atas inisiatif dan pendanaan dari ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) yang bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Agam, bangunan rumah kelahiran Buya Hamka ini dibangun kembali tepat berada di lokasi tapak bangunan lama dengan tetap mempertahankan bentuk asli bangunannya.

Keterlibatan dan pendanaan oleh lembaga dari negeri jiran Malaysia ini tidaklah mengherankan, karena diketahui bahwa karya-karya Buya Hamka ini sangat populer di Malaysia, bahkan karya-karya beliau dimasukkan dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah di seluruh Malaysia.

Maka tak heran, jika menurut data museum, mayoritas pengunjung museum adalah wisatawan asal Malaysia, mengalahkan jumlah pengunjung warga lokal atau wisatawan Nusantara. Beberapa kunjungan lainnya berasal dari pelancong asal Singapura dan Brunei.

Selain memamerkan buku-buku karya Buya Hamka yang ratusan judul banyaknya, di museum ini pengunjung juga dapat melihat berbagai benda peninggalan pribadi buya diantaranya adalah mesin tik yang dipakai untuk menulis, tongkat yang menemani buya kemanapun pergi dimasa tuanya, jubah dan baju, ranjang tempat tidur dan tentu saja foto-foto langka dokumentasi perjalanan hidup Hamka semasa muda hingga dewasa dan masa akhir hayatnya.

Perjalanan mudik liburan Idul Fitri kali ini terasa lebih bermakna, selain dapat mengunjungi sanak saudara di kampung halaman, lebih spesial lagi dapat berkunjung ke jejak-jejak masa lampau Buya Hamka, ulama besar nusantara yang sulit dicari tandingan dan bandingannya hingga kini, bahkan setelah empat dasawarsa kepergiannya menghadap yang Maha Kuasa. (*)