Cadangan Devisa Diprediksi Capai US$ 155 Miliar hingga Akhir 2023

Senin, 10 April 2023

Ilustrasi

JAKARTA - Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Faisal Rachman mengatakan langkah pemerintah dalam menjalankan hilirisasi sumber daya alam dapat menarik lebih banyak aliran investasi langsung ke Indonesia. Secara keseluruhan, kondisi cadangan devisa dinilai tetap memadai di kisaran US$ 135 miliar sampai US$ 155 milir di akhir tahun 2023.

“Berkat penurunan harga komoditas yang lebih bertahap dan implementasi instrumen DHE Forex TD yang lebih mudah, kami merevisi perkiraan cadangan devisa kami menjadi sekitar US$ 135 miliar sampai 155 miliar pada akhir tahun 2023. Angka ini lebih tinggi dari tahun 2022 yang sebesar US$ 137,2 miliar,” tutur Faisal dikutip Investor Daily, Senin (10/4/2023).

Kondisi cadangan devisa ini akan mendukung nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada periode ketidakpastian global yang tinggi. Faisal memperkirakan nilai tukar rupiah di sekitar Rp 15.285 per US$ pada akhir tahun 2023 dengan rata-rata sekitar Rp 15.220 per US$ pada tahun 2023 .

“Kami masih mengantisipasi kenaikan FFR pada 23 Mei dan aksi tunggu dan lihat investor di tengah tahun politik Indonesia, terutama pada paruh kedua tahun 2023,” kata Faisal.

Dia mengatakan langkah pemerintah dan Bank Indonesia menahan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE), termasuk instrumen Bank Indonesia berupa term deposit (TD) valas dari DHE, juga dapat mencegah keluarnya modal asing . Pada Maret 2023, terdapat penempatan sekitar US$ 294,75 juta, sebagian besar dalam tenor satu bulan, pada instrumen DHE Forex TD yang difasilitasi di BI.

“Hingga 6 April 2023, terdapat penempatan sebesar US$ 69,25 juta, dengan kecenderungan bergeser ke tenor yang lebih panjang,” tutur dia.

Sementara itu neraca transaksi berjalan Indonesia tetap dalam kondisi sehat. Faisal memperkirakan kondisi neraca transaksi berjalan akan beralih ke defisit yang dapat dikelola sekitar 1,10% dari PDB pada tahun 2023, masih lebih rendah dari defisit 3% dari PDB . Sebab pertumbuhan ekspor cenderung melambat akibat penurunan harga komoditas yang didorong oleh permintaan global yang lesu di tengah inflasi yang tinggi dan kebijakan kenaikan suku bunga yang masih berlanjut.

Surplus perdagangan diproyeksikan menyusut tetapi bisa bertahan lebih lama dari yang diantisipasi karena penurunan harga komoditas terlihat lebih bertahap, berkat pembukaan kembali ekonomi Tiongkok dan kondisi kawasan Eropa yang lebih baik dari perkiraan.

“Namun, meningkatnya risiko krisis perbankan saat ini, khususnya di kawasan Amerika Serikat dan Eropa, dapat membebani prospek positif ini," kataFaisal.

Sedangkan pertumbuhan impor masih berpeluang menguat karena permintaan domestik cenderung terus menguat, menyusul pencabutan PPKM di akhir tahun 2022 dan keputusan untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional. Namun, tekanan ke bawah berasal dari harga minyak yang lebih rendah.

“Kondisi pasar keuangan global yang kembali bergejolak, yang dipimpin oleh inflasi tinggi yang membandel di AS di tengah pasar tenaga kerja yang ketat, dapat memberikan beberapa rintangan terhadap neraca modal dan keuangan,” pungkas Faisal.