Menebus Dosa di Bukit Tigapuluh dan Teso Nilo

Kamis, 26 Agustus 2021

(Foto: irwan e siregar)

BAK sebait puisi tanpa aksara. Tiada terdengar jerit canda satwa menyambut keceriaan pagi. Kicau burung cuma lamat-lamat terdengar di sedikit kerimbunan pohon yang tersisa. Jangkrik malam pun seperti enggan bersenandung, meski suara auman harimau tak kunjung menggelegar menunjukkan keperkasaan.

Begitulah keadaan saat memandang Bukit Lancang dari Kem Granit yang berjarak tak sampai satu kilometer di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Suasana terasa hening. Bebukitan yang menghijau dengan pepohonan besar hanya mirip torehan lukisan di kanvas. Indah, tapi tanpa gairah.

Sejak masuk dari simpang  jalan lintas timur Sumatera dari arah Riau ke Jambi, suasana akan menuju ke taman nasional memang nyaris tak terasa. Pepohonan besar hanya satu dua terlihat di pinggir jalan. Monyet dan orang hutan yang biasa bergantungan di pepohonan seakan malu-malu menunjukkan wajah.

Hanya sesekali berpapasan dengan penduduk asli yang baru pulang dari hutan mencari buah rotan. Buah ini nanti mereka jemur untuk diambil minyaknya. "Harga minyaknya mahal, sampai dua juta per liter," kata Sidabutar, polisi khusus kehutanan, yang mengantar salah satu mobil rombongan Wartawan Peduli Taman Nasional PWI Riau yang berkunjung ke sana, 6 sampai 7 Agustus lalu.

Taman Nasional Bukit Tigapuluh memang belum mampu menunjukkan diri sebagai kawasan rimba raya yang alami. Maklum, sebagian dari wilayahnya terdiri dari bukit batu granit yang hanya bisa ditumbuhi satu dua pohon saja. Justru hal ini yang menyebabkan pemerintah pada awalnya memberikan izin kepada PT Pulau Sambu untuk menambang batu granit di kawasan hutan itu.

Bekas pertambangan masih tersisa. Seperti kem dan beberapa rumah untuk para pekerja. Ada pula gudang tempat penyimpanan bahan peledak. Sebagian bukit batu sudah rata dengan tanah akibat proses penambangan dengan bahan peledak tersebut. Bahkan di suatu sisi ada kolam renang yang juga dibentuk dari cekukan tanah karena ledakan.

Rusaknya bebukitan batu otomatis ikut memorakporandakan  kelestarian alam di sana. Pohon-pohon sudah pada lenyap sedikit demi sedikit. Aneka satwa yang juga menghilang satu per satu.

Untunglah pemerintah cepat menyadari hal ini. Seperti ingin menebus dosa, pada 2002 kawasan Bukit Tigapuluh dijadikan sebagai taman nasional. Selain di Riau, sebagian kecil dari arealnya masuk ke Provinsi Jambi. Tindakan tersebut memang pantas diacungi jempol. Sebab, posisi kawasan hutan yang lestari sangat dibutuhkan di sepanjang Pulau Sumatera. Hutan yang lebat diharapkan bisa menjadi paru-paru dunia dalam menghasilkan oksigen. 

Namun, tentu saja tak segampang membalik telapak tangan menyulap lahan yang telah porakporanda ini kembali  menjadi kawasan hutan lebat. Sudah jamak diketahui, perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan biasanya membabat habis semua kayu-kayu. Hasil penjualan kayu inilah yang kemudian digunakan sebagai modal kerja.

Maka, wajar saja jika pihak pengelola TNBT kini harus bertungkuslumus menata kembali agar flora dan fauna setidaknya bisa tetap bertahan. Seperti diungkapkan Fifin Jogasara, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh, banyak tantangan yang dihadapi dalam menata taman nasional ini. 

Apalagi sebagai seorang wanita, bertugas di hutan tentu lebih banyak lagi suka dukanya. Namun, sarjana kehutanan ini nampaknya tak gampang menyerah. "Kami harus tetap tegar menjaga kelestarian hutan ini," kata wanita asal Malang, Jawa Timur, yang manis ini.

Tantangan yang dihadapi bukan hanya dari dalam saja. Tapi justru dari luar. Para perambah liar hampir setiap saat mengincer lahan yang terhampar luas. Para perambah bukan hanya masyarakat setempat, tapi juga cukong-cukong dari Jakarta dan Medan.

Saat ini, seperti diberitakan di media massa, aparat hukum setempat sedang menangani kasus perambahan lahan dengan menggunakan alat berat eksavator. Areal yang dirambah umumnya untuk dijadikan kebun sawit.

Perambah liar memang kerap main kucing-kucingan dalam menjalankan aksi. Maklum saja, untuk menjaga kawasan taman nasional seluas 144.223 hektare itu hanya ada 28 orang petugas Polisi Khusus (Polsus) Kehutanan. Selain melakukan patroli kehutanan, mereka juga harus menjaga aneka satwa dari pemburu liar.

Lebih Parah

Seperti di Bukit Tigapuluh, pemerintah juga berupaya menebus 'dosa' kehutanan yang dilakukan sebelumnya dengan menetapkan kawasan sepanjang aliran Sungai Teso dan Sungai Nilo sebagai taman nasional. Awalnya, pada 2004 ditetapkan untuk lahan seluas
38.576 (Tiga puluh delapan ribu lima ratus tujuh puluh enam) hektare). Sepuluh tahun kemudian diperluas lagi menjadi 81.793 hektare.

Tapi, saat dijadikan sebagai Taman Nasional Teso Nilo (TNTN), bisa dikatakan kondisinya lebih para ketimbang TNBT. Betapa tidak, areal ini sebelumnya sudah nyaris gundul dibabat perusahaan HPH (Hak Penguasaan Hutan), yang seperti datang silihberganti.

Kayu-kayu bagus ditebangi untuk diekspor. Sedangkan sisanya jadi bahan baku pulp dan keperluan lainnya. Bisa dibayangkan, hutan yang sudah gundul menyebabkan satwa menjadi kelimpungan mencari makan dan tempat bernaung. Maka wajar jika kemudian sering terdegar gajah mengamuk, harimau yang mondar-mandir di perkampungan dan terkadang sampai memangsa ternak dan manusia. Satwa lain yang tak mampu bertahan akhirnya hilang tak tentu arah.

Selain itu, seperti diungkapkan Heru Sukmantoro, Kepala Balai TNTN, dari 81.793 hektare luas seluruh taman nasional ini, yang bisa mereka kuasai sekarang hanya sekitar 18.000 hektare saja. Selebihnya sudah menjadi perkebunan sawit, karet, dan perkampungan. 

Dalam pertemuan dengan rombongan Wartawan Peduli Taman Nasional PWI Riau di Tempat Pelatihan Gajah TNTN, 8 Agustus lalu, Heru mengatakan sudah berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan lahan yang sangat dibutuhkan bagi kelestarian flora dan fauna. Namun hingga kini belum menunjukkan hasil yang memadai. 

"Sekarang kita lebih fokus mengurus 18 ribu hektare lahan yang masih kita kuasai," lanjut Heru. Kendati begitu, masih tetap saja ada para perambah yang mencoba mencari kesempatan dalam kesempitan.

Belum lama ini, misalnya, diberitakan ada seorang cukong keturunan India asal Medan mencoba membuka kebun sawit 100 hektare lebih di sana. Mereka menggunakan alat berat eksavator untuk membuang akar-akar kayu besar, dan membuat parit pembatas. Untunglah Polsus Hutan cepat tanggap. Kasus kejahatan kehutanan itu kini sedang digelar di pengadilan. 

Bukan gampang memang pekerjaan yang dilakukan para pengelola taman nasional ini. Di satu sisi mereka berupaya agar flora dan fauna di kawasan itu bisa lestari. Namun, mereka juga harus mengajak manusia peduli dengan alam sekitar. Tapi, yang paling utama adalah bagaimana agar terjadi hubungan yang saling membutuhkan di antara semuanya. (irwan e. siregar)