Hidup Mati Gajah Meninggalkan Masalah

Senin, 23 Agustus 2021

Gajah dan anaknya usai dimandikan di kubangan. (Foto: irwan e. siregar)

PAGI nan cerah. Tak ada tanda akan turun hujan. Usai membereskan rumah, perlahan nenek Tukiya bergerak ke deretan pohon getah di pekarangan. Seperti biasa, pekerjaan menakik (menderes) getah dilakukan warga Dusun Sialang Rimbun, Desa Muara Basung, Kecamatan Pinggir, Bengkalis, ini untuk menambah belanja di rumah. 

Selagi asyik mengumpulkan cairan kental putih itu ke dalam mangkuk dari batok kelapa, tiba-tiba terdengar teriakan dari warga sekitar. "Awas, ada gajah ngamuk." Suatu kejadian yang saat itu belum lazim di sini.

Nenek berusia 50-an tahun ini berupaya untuk menyelamatkan diri. Sayang, belum sempat menghindar jauh, gajah jantan berusia 10-an tahun yang menyeruak ke mana saja, memijak tubuh si nenek. Tak tertolong lagi, Tukiya meninggal dunia. 

Musibah yang terjadi beberapa tahun lalu, semakin menambah banyaknya korban akibat gajah mengamuk. Tak hanya di kawasan ini. Tapi juga di tempat lain yang menjadi kantong-kantong pemukiman gajah di seantero Riau.

Kawanan gajah belakangan ini memang kerap mengganggu ketenangan warga. Syamsuri, Ketua RT Pondok Satu, Desa Pauh Ranap, Kecamatan Peranap, Indragirihulu, bercerita. Di desa tetangga yang menjadi lintasan gajah, binatang berbelalai ini suka mengambil beras, garam, gula, dan bahan makanan lainnya dari sela-sela dapur. Ia menggunakab belalainya masuk dari sela-sela dinding, lalu melahap apa saja sesukanya.

Kalau sedang mengamuk, hewan bertubuh tinggi besar ini pun seenaknya merusak kebun sawit, dan karet milik warga. "Pernah puluhan hektare kebun sawit milik seorang perwira polisi yang baru ditanam setahun,  habis porakporanda diamuk gajah," cerita Syamsuri. 

Hal seperti ini tentu saja membuat gajah menjadi musuh baru bagi para petani. Berbagai cara dilakukan untuk menghalau binatang besar mirip monster ini. Bagi petani skala besar ada yang membuat parit lebar dan dalam agar gajah tidak bisa masuk ke kebun. Ada pula yang mengusir dengan cara membuat suara dentuman dari karbit. Kendati begitu, tak jarang juga terdengar ada gajah mati karena diracun, dijerat, dan ditembak.  

Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN), mencatat dalam kurun waktu antara 2015 hingga awal 2020, setidaknya ada 24 gajah mati di Kantong Taman Nasional Tesso Nilo, Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, dan Suaka Margasatwa Balai Raja, Riau. Itu di luar gajah yang terluka atau terkena jerat.

Ironis, memang. Padahal selama ini gajah yang berstatus dilindungi itu selalu bersahabat dengan manusia. Jangankan mengganggu, ia justru dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Sebagai sarana transportasi manusia maupun barang. Dulu perusahaan perkayuan memakai gajah untuk menyeret kayu tebangan dari tengah hutan.  Al Quran juga menceritakan tentang pasukan tentara menunggang gajah menyerang kaabah.

Tak bisa dipungkiri lagi, konflik antara gajah dengan manusia terjadi karena habitat gajah sudah banyak yang rusak. Pembukaan kawasan hutan untuk industri kehutanan yang terjadi sejak masa Orde Baru menyebabkan rimba raya porak-poranda. Aneka satwa yang hidup di sana jadi kesulitan mencari makan dan tempat tinggal.

Menyadari hal ini, kemudian timbul keinginan pemerintah untuk mendirikan areal konservasi gajah.  Seperti di Minas, Kandis, dan tempat lain yang jadi kawasan habitat gajah. Di sepanjang aliran Sungai Teso dan Sungai Nilo juga diusulkan. Namun sempat mendapat tantangan dari beberapa perusahaan kehutanan yang berdomisili di sana.

Untunglah, kali ini pemerintah bersikukuh untuk melestarikan kembali kawasan hutan yang sudah sempat diluluhlantakkan demi atas nama pembangunan. Kegiatan perusahaan kehutanan di sana dihentikan. 
Bahkan, pada 2004 pemerintah bukan hanya menjadikannya sebagai konservasi gajah semata. Namun menetapkan sebagai Taman Nasional Tesso Nilo, untuk kawasan seluas ± 38.576 (Tiga puluh delapan ribu lima ratus tujuh puluh enam) hektare). "Lebih menggembirakan lagi, pada 28 Oktober 2014 Menteri Kehutanan memperluas lagi TNTN menjadi 81.793 hektare," ungkap Heru Sukmantoro, kepala Balai Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) saat menerima kedatangan rombongan Wartawan Peduli Taman Nasional PWI Riau, awal  Agustus lalu. 

Pemerintah memang pantas memperluaskan bentangan TNTN. Sebab, menurut penelitian LIPI pada 2003, di kawasan hutan hujan tropis ini terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia. Ini juga adalah salah satu sisa hutan dataran rendah yang menjadi habitat bagi satwa gajah sumatera dan harimau sumatera.

Sayangnya, meskipun telah diperluas, hutan alami yang tersisa masih tetap relatif sedikit. Diperkirakan tinggal 20 persen lagi. "Paling ada sekitar 18 ribu hektare lagi," kata Heru Sukmantoro. Selebihnya sudah menjadi kebun sawit dan karet. Baik kebun milik masyarakat maupun korporasi dan sebagainya.

Heru menyadari, dalam kasus ini tidak tahu hendak menyalahkan siapa. Sebab, saat dijadikan sebagai taman nasional, kondisi hutan di sepanjang aliran Sungai Teso dan Sungai Nilo ini sudah porakporanda. Maklum, perusahan HPH yang memegang izin telah menebangi kayu-kayu hutan. Kemudian tidak ada proses penghutanan kembali.

Maka, begitu operasional perusahaan dihentikan, para spekulan tanah pun segera menyerobot lahan yang ditinggal. Areal ini kemudian dijual lalu dijadikan kebun sawit dan karet.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk melestarikan Teso Nilo sebagai kawasan taman nasional yang alami. Pada 2014, misalnya, telah dilakukan operasi terpadu yang melibatkan polisi, jaksa, pihak kehutanan, dan BNPB. Dengan menggunakan alat berat, dalam tempo seminggu tim ini berhasil membongkar kebun sawit seluas 180 hektare. Usia tanaman sawit termuda disebutkan sekitar lima tahun.

Upaya lain pun dilakukan melalui dialog dengan masyarakat. Pemerintah berjanji akan menyediakan tempat baru lengkap dengan tanamannya kepada para pekebun sawit liar yang bersedia dipindahkan.

Sayangnya, berbagai upaya yang dilakukan nampaknya tak membuahkan hasil yang memadai. Bentangan hutan di kawasan taman nasional ini bukannya bertambah luas. Malahan semakin lama semakin berkurang akibat diserobot lagi oleh para perambah liar.

Ada yang mengusulkan dilakukan pendekatan budaya kepada perambah liar. Tapi, menurut Heru rasanya tidak mungkin. Sebab, mereka umumnya pendatang. Bukan masyarakat setempat.

Heru yang belum lama diangkat sebagai Kepala Balai TNTN, sebelumnya staf di sana, memang sudah punya ide untuk melakukan tindakan persuasif. Mengajak para pekebun sawit liar itu mengubah jenis tanamannya. Dari sawit ke tanaman keras. Seperti durian, mangga, rambutan, dan sebagainya. "Harga jual buah-buahan ini bisa lebih tinggi dari sawit," katanya.

Menurut Heru, satwa semacam gajah memang susah mencari makan di kebun sawit. Selain itu, di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik perusahaan juga kurang bisa dihandalkan untuk jadi tempat makan satwa. "Apalagi kalau tanaman eukaliptus, gajah tidak suka di sana karena pohon ini mengeluarkan aroma seperti minyak kayu putih.

Untuk melestarikan gajah, pihak TNTN memelihara gajah yang telah dijinakkan. Beberapa ekor diantaranya sudah melahirkan, sehingga sekarang jumlahnya menjadi sembilan ekor. 

Gajah ini mendapat pendidikan di Elephant Flying Squad. Yakni sekolah gajah yang didirikan di sebuah lokasi di TNTN. Gajah-gajah yang sudah terlatih biasa bertugas menggiring gajah liar yang mengganggu perkampungan maupun perkebunan masyarakat. 

Terasa berat memang tugas yang diemban Heru dan para stafnya di TNTN. Betapa tidak, mereka juga harus mengurus satwa lainnya, seperti harimau, beruang, dan aneka burung yang dilindungi. Tantangan hidup atau mati selalu muncul. Baik dari satwa maupun para perambah liar. (wan)


Belalai Menyeruak dari Lahan RAPP

SAAT ini istilah daring sering terdengar. Terutama di kalangan anak sekolah. Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan menyebabkan mereka terpaksa tetap berdiam di rumah menerima pelajaran. Guru memberikan materi pelajaran lewat jaringan internet.

Di sekolah gajah Elephant Flying Squad (EFS) yang dikelola PT RAPP juga diterapkan daring. Bukan antara pawang/pelatih dengan gajah. Tapi dengan rombongan Wartawan Peduli Taman Nasional PWI Riau, yang berlangsung Sabtu, 7 Agustus 2021.

Kendati rombongan ini sudah melakukan rapid tes sehari sebelumnya, pihak pengelola pusat pelatihan gajah tetap tidak berkenan dikunjungi. Setidaknya hal ini menunjukkan bahwa perusahaan ini sangat waspada dan berhati-hati. Apalagi saat itu santer disebut ada dua ekor harimau di Kebun binatang Ragunan, Jakarta, yang terpapar covid-19. 

Dalam pemaparannya, Environment Manager PT RAPP, Riyadin Hendratno, mengatakan EFS adalah suatu unit reaksi cepat gajah yang dibentuk sebagai salah satu implementasi teknik mitigasi konflik antara gajah dengan manusia. "Tugas utamanya untuk mengembalakan dan menghalau gajah liar agar tidak masuk ke lahan masyarakat," kata Riyadin.

Awalnya jumlah gajah di EFS ada empat ekor. Tapi berkat tangan dingin para pawang sebanyak delapan orang, gajah berkembang biak menjadi enam ekor. Suatu prestasi yang pantas dibanggakan. Sebab masa melahirkan gajah bersiklus enam tahun. Sedangkan hamilnya 20 bulan.

Wajar saja jika gajah jantan suka ngamuk, karena birahi yang kurang tersalurkan. Sebab, menurut sarjana kehutanan lulusan Universitas Gajahmada ini, gajah jantan yang sedang birahi memang cenderung agresif. "Tandanya, ada keluar cairan putih dari lubang antara telinga dengan belalai," kata Riyadin.

Maka, hati-hati lah dengan gajah yang sedang syurr. Jangan mencoba mendapatkan mani gajah. Besar resikonya. (irwan e. siregar)