Apakah Penggarap Berhak Dapat Ganti Rugi Lahan Infrastruktur Pemerintah?

Senin, 23 Agustus 2021

(Foto: kompas.com)

JAKARTA, PROPERTYBISNIS - Warga asal Mandalika Amaq Saepuddin terlibat sengketa lahan dengan Indonesia Tourim Development Corporation (ITDC).

Amaq menolak permintaan pengosongan lahan miliknya seluas 10.500 meter persegi sebagai bagian dari proyek pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kepada Kompas.com, Amaq mengungkapkan alasan penolakan pengosongan lahan karena belum mendapatkan uang ganti rugi dari ITDC.

Kuasa Hukum Amaq Saepuddin yang juga pendiri LBH Madani Setia Dharma mengatakan lahan seluas 10.500 meter persegi itu telah dimiliki Amaq melalui penggarapan dan pembukaan kawasan hutan sejak tahun 1973.

Adapun bukti kepemilikan lahan tersebut yaitu surat segel pembukaan lahan atau penggarapan yang dikeluarkan oleh kantor desa setempat tahun 1980.

Setia mengatakan pembukaan lahan kawasan hutan milik Amaq ini tidak dilakukan di atas tanah milik negara atau tanah yang merupakan hak orang lain.

"Jadi harus dipahami, yang dimaksud tanah negara adalah tanah milik negara. Dan untuk diartikan sebagai tanah milik negara, negara harus punya alas hak lebih dahulu. Jadi dalam hukum pertanahan tidak ada yang dimaksud dengan tanah negara," kata Setia saat dihubungi Kompas.com, Minggu (22/08/2021).

Namun di sisi lain, ITDC juga mengeklaim bahwa lahan Amaq Saepuddin itu merupakan Hak Pengelolaan (HPL) yang telah diberikan pemerintah kepada ITDC untuk digarap sebagai bagian dari proyek KSPN Mandalika.

Lalu pertanyaannya berhakkah Amaq Saepuddin mendapatkan ganti rugi atas lahan tersebut?

Menanggapi hal itu, Ahli Hukum Pertanahan Eddy Leks mengatakan, pada dasarnya setiap pemilik tanah berhak mendapatkan ganti rugi atas lahannya yang digarap untuk pembangunan infrastruktur pemerintah.

Menurut Eddy, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah yang kemudian diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan beberapa orang yang berhak menerima ganti rugi antara lain pemegang hak atas tanah, pemilik tanah bekas milik adat, dan masyarakat hukum adat.

Lalu ganti rugi juga diberikan kepada pihak yang menguasai tanah negara dengan iktikad baik, pemegang dasar penguasaan atas tanah, dan pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

"Jadi bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan hak atas tanah diberikan ganti rugi kepada pemiliknya," kata Eddy kepada Kompas.com, Minggu (22/08/2021).

Hal senada dikatakan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Dia menegaskan, Amaq berhak mendapatkan ganti rugi lahan.

Surat segel yang dimiliki Amaq itu merupakan bukti kepemilikan tanah pada masa lalu.

"Surat segel itu surat dengan materai zaman dulu. Jadi surat segel itu merupakan pernyataan penguasaan fisik tanah turun temurun keterangannya dikeluarkan kades biasanya digunakan segel," kata Dewi kepada Kompas.com, Minggu (22/08/2021).

Dewi menjelaskan pada masa lalu jual beli tanah di Indonesia juga menggunakan surat segel. Dengan demikian, surat segel punya kedudukan kuat sebagai bukti kepemilikan tanah.

"Jadi secara kedudukan hukum, surat segel itu juga kuat, karena itu menunjukkan sejarah penguasaan tanah, objek tanahnya maupun subjeknya," jelasnya.

Terlebih, Amaq telah menguasai lahan itu selama lebih dari 25 tahun atau tepatnya 41 tahun. Oleh karena itu, atas tanah itu, Amaq memiliki alas hak milik yang sangat kuat.

"Jika sudah lebih 25 tahun, warga punya alas hak milik yang kuat. Tidak cukup hanya uang kerohiman, dan ganti rugi itu tidak hanya dalam bentuk uang dapat juga dalam bentuk tanah pengganti," ujar dia.

Sengketa ganti rugi lahan dititipkan ke pengadilan

Namun demikian, menurut Eddy, jika terbit Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di atas tanah yang diklaim masih dikuasai oleh pihak lain dan belum dibebaskan atau diberi ganti rugi, terdapat beberapa kemungkinan.

Pertama bisa jadi bahwa pihak lain tersebut tidak diakui sebagai yang berhak sesuai dengan fakta hukum yang ditemukan di lapangan saat inventarisasi dan identifikasi dilakukan.

"Kedua mungkin diakui tapi ada sengketa sehingga pemberian ganti rugi dapat dititipkan di pengadilan, atau ketiga, bisa jadi karena kelalaian dalam tahap pengadaan tanah," tuturnya.

Jika ada kemungkinan seperti itu, yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini Amaq Saepuddin, dapat menempuh upaya hukum melalui pengadilan.

"Nah yang bisa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat baik proses pengadaan tanah atau penerbitan HPL adalah mengajukan upaya hukum melalui pengadilan," kata Eddy.

Di luar itu, Eddy memaparkan, dalam penerbitan HPL juga memiliki mekanisme dan ketentuan yang wajib dipenuhi.

Pemohon harus menguasai tanah tersebut terlebih dahulu yang dibuktikan dengan data fisik dan data yuridis.

Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Agraria/BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Dalam prosedur permohonannya, pemohon harus menyampaikan beberapa bukti terkait data yuridis dan data fisik.

Antara lain, bukti pemilikan dan bukti perolehan tanah seperti sertifikat, penunjukan atau penyerahan dari pemerintah, pelepasan hak, atau bukti perolehan tanah lainnya.

Nantinya berkas permohonan akan diperiksa oleh kantor pertanahan meliputi tim penelitian tanah dan panitia pemeriksa tanah untuk memeriksa permohonan hak atas tanah.

Lalu panitia pemeriksa tanah akan mengunjungi lokasi tanah yang dimohon dan memastikan apa ada penggarapan tanah dan menganalisis apakah penggarap tersebut dapat diberi atau tidak diberi ganti rugi.

"Tentunya dalam proses pengadaan tanah, identifikasi tersebut sudah dilakukan pada awal untuk kemudian menjadi dasar pemberian ganti rugi kepada pihak yang berhak," tuntas Eddy. (kompas.com/wan)