Tabungan Makin Banyak Mengendap di Bank, Tanda Bahaya?

Ahad, 08 Agustus 2021

Foto: grandyos zafna

JAKARTA, PROPERTYBISNIS - Dana masyarakat semakin banyak yang mengendap di perbankan. Hal ini karena pandemi COVID-19 yang membuat masyarakat malas untuk berbelanja dan memilih menyimpan uang di rekening.

Padahal lambatnya perputaran dana itu turut mempengaruhi roda perekonomian. Bank juga kesulitan untuk menyalurkan lagi ke dalam bentuk kredit.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan ada bahaya yang mengintai dari bengkaknya dana masyarakat di bank akibat pembatasan ini.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan hal ini terjadi karena memang masyarakat tak bisa menggelontorkan uangnya untuk kegiatan seperti hiburan. Selain itu juga banyak yang takut menghamburkan uangnya.

Apalagi keterbatasan untuk berbelanja akibat pembatasan kegiatan fisik ini juga turut mempengaruhi. "Sehingga masyarakat yang pendapatannya tetap tidak dapat dibelanjakan, sehingga tabungannya pasti meningkat," kata Wimboh.
Dia meyakini dana masyarakat di sistem perbankan juga terus mengalami peningkatan. Hal ini seiring dengan kucuran insentif yang diberikan pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Tahun lalu anggaran PEN mencapai Rp 695 triliun dan tahun ini Rp 744 triliun. Menurut Wimboh kondisi ini pasti menambah jumlah uang beredar di masyarakat dan juga menambah dana masyarakat di perbankan.

"Tidak heran dana di perbankan melimpah, pertumbuhannya year on year pada Juli kemarin 11,28%, sebelum COVID-19 pertumbuhan dana masyarakat itu hanya 6-7%," imbuh dia.

Nah masalahnya adalah, ketika likuiditas perbankan berlimpah seperti sekarang ini maka akan mempengaruhi suku bunga simpanan yang terus menurun. Wimboh menjelaskan biasanya suku bunga deposito berjangka 1 tahun sekitar 7%, namun sekarang hanya 5%, bahkan ada yang di bawah 4%.

Tentu dengan jumlah uang yang meningkat tapi suku bunganya turun, masyarakat mencari alternatif instrumen lain yang memberikan tingkat keuntungan yang menarik. Alhasil tawaran instrumen investasi belakangan ini semakin berlimpah.

Permasalahannya tawaran investasi itu bukan hanya datang dari dunia pasar modal, tapi juga dari luar pasar modal. Jenis produknya pun bermacam-macam.

Bahayanya produk-produk investasi yang tidak jelas itu menawarkan imbal hasil yang sangat tinggi, diiringi dengan risiko yang tinggi pula. Ada juga yang ternyata bodong.

"Kita juga tidak tahu itu instrumen apa, terutama yang di masyarakat yang tidak melalui pasar modal bisa menawarkan suku bunga yang sangat tinggi. Bahkan aset-aset lain termasuk aset kripto beberapa advisor menawarkan return yang tinggi.

Ini masyarakat harus paham dan hati-hati jangan sampai hanya tertarik pendapat yang tinggi," terangnya.

Memang ada sisi baiknya juga, jumlah investor di pasar modal meningkat signifikan. Saat ini investor pasar modal sudah berjumlah 5,6 juta, angka itu naik 44% dari posisi akhir tahun lalu.

Namun bukan berarti peningkatan jumlah investor itu tidak mengandung risiko. Wimboh mengatakan, seiring dengan peningkatan jumlah investor secara drastis maka muncul risiko volatilitas yang tinggi dan memicu gelombang spekulasi yang tinggi. Semua itu karena ketidakseimbangan antara supply and demand.

"Bahwa kalau supply dan demand di pasar modal tidak balance menimbulkan bubble dan bisa menimbulkan volatilitas harga di pasar modal dan sangat potensi menimbulkan spekulasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab," tuturnya. (detik.com/wan)