Karut-Marut Bisnis Properti Syariah

Sabtu, 24 Juli 2021

(Foto: jawapos)

DI PENGHUJUNG 2019, umat Islam Indonesia tersentak oleh banyaknya pemberitaan mengenai penipuan properti syariah. Kasus penipuan ini ramai terjadi di berbagai daerah. Jumlah korban kejahatan tersebut juga tidak sedikit, bisa mencapai ribuan korban yang tertipu oleh satu pengembang. Kondisi ini tentunya sangat berisiko bagi masyarakat yang ingin memiliki properti khususnya tempat tinggal.

Alasannya, properti syariah menawarkan biaya murah dan cicilan lebih ringan dibandingkan properti konvensional. Selain itu, bagi masyarakat muslim properti syariah menjadi jalan keluar menghindari praktik riba. Ironinya, kebutuhan tersebut dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab sehingga menipu masyarakat sebagai konsumen.

Hal ini bisa dipahami dari kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh para pengembang properti syariah. Misalnya transaksi tanpa melalui perbankan atau bebas riba seperti bunga dan denda, akad jual beli antara pengembang dan konsumen (tanpa pihak ketiga), harga jual tidak berubah sejak akad, tidak ada asuransi, dan tanpa sita.

Karena tergiur oleh berbagai fasilitas yang menggiurkan inilah, maka banyak konsumen properti syariah tertipu. Salah satu kasus penipuan berkedok properti syariah berhasil terungkap Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya yang dilakukan pengembang perumahan ”Multazam Islamic Residence” yang dikelola PT Cahaya Mentari Pratama.

 Menurut penyelidikan polisi, PT Cahaya Mentari Pratama menjanjikan perumahan Multazam Islamic Residence di lokasi Jalan Raya Kalanganyar, Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur yang siap huni pada tahun ini. Sebagian besar konsumen yang menjadi korbannya telah melunasi cicilan yang pembayarannya diangsur sejak tahun 2016.

Kini semakin jelas bahwa banyak pengembang properti berkedok syariah. Syariah hanya dibuat kedok untuk memuluskan kepentingan ekonomi mereka. Sudah banyak korban penipuan yang tertipu dengan ulah mereka. Mereka menjadi pengembang properti tanpa pernah mengerti dunia properti yang sebenarnya. Ditambah lagi dengan ketidakmengertian mereka tentang akad-akad syariah. Dalam otak mereka properti syariah adalah bisnis belaka. Syariah hanya sebagai pemanis saja. Untuk itu mereka tidak perlu tahu bagaimana praktik bisnis berlabel syariah sebenarnya.

Sistem perumahan yang berbasis syariah dapat memudahkan kita untuk mendapatkan rumah impian tanpa perlu syarat yang ribet. Perumahan syariah sangat berpegang erat pada syariat Islam yang berlandaskan hukum akad. Perusahaan pengembang perumahan yang menawarkan perumahan syariah yang tidak menggunakan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) bank konvensional dengan tujuan untuk menghindari riba.

Salah satu perkembangan dalam akad bisnis properti syariah adalah istishna. Transaksi jual beli istishna merupakan kontrak penjualan antara mustashni (pemesan) dan shani (pembuat). Dalam kontrak ini shani menerima pesanan dari mustashni untuk membuat barang yang diinginkan. Akad ini lahir karena ada kebutuhan yang berbeda antara satu orang dengan yang lain.

Dalam kenyataannya, akad istishna menjadi solusi yang sangat relevan untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi. Banyak diantara masyarakat yang menginginkan atau membutuhkan suatu barang, namun mereka merasa kesulitan tidak adanya modal yang cukup untuk mendapatkannya. Akhirnya, lewat faktor-faktor seperti ini kemudian lahir akad istishna.

Ketidakcukupan modal yang dimiliki masyarakat dalam melakukan jual beli cenderung akan menurunkan konsumsi dan berujung daya beli masyarakat akan berkurang. Diperlukan sebuah solusi yang dapat mempermudah masyarakat memenuhi kebutuhannya tanpa harus membeli produk secara tunai. Syariat Islam diturunkan untuk mempermudah urusan umat manusia bukan mempersulit. Instrumen atau akad-akad dalam Islam dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Implementasi akad istishna sebagian besar terkonsentrasi pada perbankan untuk pembiayaan-pembiayaan skala besar seperti dalam kredit kepemilikan rumah dan sebagainya. Sementara untuk usaha-usaha berskala kecil masih sangat kurang padahal jika diperlukan fleksibilitas akad istishna memudahkan dalam transaksi dan ini akan mempercepat dalam sirkulasi produk. Yang berarti mempercepat berjalannya roda perekonomian, mempercepat perputaran aliran pendapatan masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seharusnya dengan kemudahan tersebut menjadi salah satu instrumen yang dapat dijadikan strategi dalam pemasaran produk khususnya bagi usaha-usaha kecil yang tidak banyak di lirik oleh para investor besar. Namun kenyataannya, di lapangan tidak banyak pengusaha kecil yang menerapkannya dikarenakan minimnya pengetahuan tentang akad-akad dalam ekonomi syariah.

Dalam akad istishna tempo waktu penyerahan barang harus disepakati dengan jelas. Harga istishna boleh dibayarkan di awal pada saat akad, boleh dibayar sekaligus pada saat penyerahan barang, boleh sebagian diawal dan dilunasi pada saat penyerahan barang dan boleh dibayar secara kredit setelah penyerahan barang baik secara sekaligus atau dengan angsuran.

Dalam fatwa DSN MUI, istishna merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antar pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’). Akad istisna’ hampir menyerupai akad salam, karena istishna’ juga menjual barang yang tidak ada, dan barang yang dibuat menjadi tanggungan atas pembuat yang menjual sejak akad disempurnakan.

Dengan demikian implementasi akad istishna’ dalam produk KPR syariah akan menghilangkan unsur riba (bunga) karena transaksi dilakukan langsung melalui developer tanpa ada pihak ketiga yaitu bank yang sudah jelas keharamannya.

Unsur sita yakni pihak developer tidak menyita sesuatu yang bukan miliknya. Ketika terjadi akad serah terima bangunan, maka 100% kepemilikan jatuh kepada konsumen. Unsur denda yakni pihak developer tidak memerlukan denda jika ada keterlambatan dalam angsuran karena denda termasuk riba. Hal tersebut sesuai dengan fatwa DSN nomer 21/DSN-MUI/X/2001 yang menyebutkan bahwa akad yang sesuai dengan syariah adalah akad yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (judi), riba, zulm (penganiyaan), risywah (suap), barang haram, dan maksiat.

Dalam hal ini pembeli berkewajiban melunasi harganya dengan cara angsuran dalam jangka waktu tertentu. Ada banyak varian dalam jual beli tidak tunai/kredit. Terkadang dalam skema bai’ mudhorabah, bai’ bi dayn wa taqsith ataupun beberapa pilihan skema yang lain. Masing-masing skema jual beli kredit memiliki aturan yang berbeda satu dengan yang lain. Pada intinya, jual beli kredit adalah jual beli barang dengan harga yang ditangguhkan atau bisa disebut juga sebagai jual beli dengan cara berutang.

Mengenai kebolehan jual beli dengan harga tidak tunai tanpa ada tambahan harga akibat tempo waktu yang diberikan, telah jelas kebolehannya sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Aisyah ra yang menjelaskan tentang maksud dari bermuamalah ialah seperti jual beli, utang-piutang, atau sewa-menyewa. Adapun jika terjadi perbedaan antara harga tunai dengan harga akumulasi harga angsuran, maka ada dua pendapat terkait hal ini. Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan kebolehan perbedaan antara harga cash dan harga angsuran.

Mayoritas ulama fikih menyatakan bolehnya menjual barang dengan harga lebih tinggi daripada biasanya dengan alasan kredit atau dengan alasan penundaan pembayaran. Diriwayatkan dari Thawus, hakam dan Hammad, mereka mengatakan hukumnya boleh seseorang mengatakan, ”Saya menjual kepada kamu segini dengan kontan, dan segini dengan kredit”, lalu pembeli memilih salah satu di antaranya. Ali bin Abi Thalib ra berkata, ”Barang siapa memberikan tawaran dua sistem pembayaran, kontan dan tertunda, maka tentukanlah salah satunya sebelum transaksi”.

Syekh Abdul Aziz bin Baz berkata, ”Jual beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat akad, sekalipun jual beli kredit biasanya lebih mahal dari pada jual beli tunai”. (Majmu’ fatwa Ibnu Baz).

Adapun pendapat yang mengharamkan tambahan harga atas transaksi kredit berpedoman pada hadits nabi SAW, ”Siapa saja yang menjual dua jual beli dalam satu penjualan, maka baginya harga yang paling sedikit atau (kalau tidak, ia terkena) riba”.

Dalam lafadz yang lain, Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu penjualan (HR Ahmad dan Nasai dan tirmidzi). Mereka yang mengharamkan tambahan harga dari transaksi kredit menjelaskan hadis ini dengan tafsir, ”Siapa saja yang menawarkan barang dengan dua harga maka baginya harga yang lebih rendah atau riba”. Hadis larangan Nabi tentang dua jual beli dalam satu transaksi ini mereka tafsirkan sebagai larangan menawarkan barang dengan dua harga, yang salah satunya kontan dan yang lainnya dengan harga kredit dengan harga lebih tinggi.

Jika kita cermati dalam pendapat tersebut, maka akan kita temukan bahwa mereka menjadikan kata ba’a (menjual) dalam hadis di atas sebagai majaz dengan makna ’aradla (menawarkan). Sementara makna menjual dengan menawarkan adalah sesuatu yang berbeda dan qorinah (indikasi) mengalihkan makna hakiki dari kata ba’a kepada makna kiasan ’aradla (menawarkan) tidak kita temukan. Oleh karena itu, lebih tepat adalah memaknai kata ba’a dengan makna harfiahnya yaitu menjual bukan menawarkan.

Dengan demikian, maka boleh seseorang menawarkan barang dengan dua harga atau bahkan banyak harga, tetapi akad jual belinya wajib disepakati satu harga saja. Kepastian satu harga itu terjadi sebelum kedua belah pihak berpisah. Karena yang dilarang adalah dua jual beli dalam satu transaksi. (jawapos.com/wan)

*) Penyuluh Agama Islam (PAI) Situbondo.