Dinilai Lebih Ramah Lingkungan, Kayu Jadi Material Masa Depan Konstruksi

Senin, 21 Juni 2021

JAKARTA, PROPERTYBISNIS - Material kayu telah menjadi perhatian utama dunia konstruksi.

Banyak arsitek di berbagai belahan dunia berinovasi membuat bangunan dengan material kayu.

Material ini dinilai jauh lebih ramah lingkungan dan diprediksi menjadi material yang akan digunakan untuk pembangunan di masa depan.

Terutama untuk bangunan seperti rumah dan juga gedung-gedung tinggi pencakar langit.

Melansir Archdaily, hingga saat ini tercatat sebanyak 44 bangunan gedung tinggi pencakar langit bermaterialkan kayu yang dibangun di seluruh dunia.

Ada di antara gedung tersebut yang dirancang setinggi 14 lantai atau 50 meter.

Sebut saja T3 di Minneapolis Amerika Serikat, Brewerly Lofts di Amerika Serikat, Dushan Shuisi di China, Karbon 12 di Portland Amerika, Curtain Place di London, UBC Earth Sciences Building di Canada.

Didukung oleh kebijakan pemerintah

Semakin berkembangnya gedung tinggi bermaterial kayu ini sebenarnya didorong oleh sejumlah kebijakan pemerintah di berbagai dunia yang memiliki perhatian terhadap lingkungan.

Pada tahun 2017, pemerintah Kanada meluncurkan Program Green Construction Through Wood (GCWood), yang menyediakan pendanaan untuk proyek-proyek padat kayu atau yang menggunakan produk dan sistem kayu inovatif.

Demikian pula, Dewan Kode Internasional menyetujui 14 perubahan pada Kode Bangunan Internasional awal tahun ini, meningkatkan ketinggian konstruksi kayu massal yang diizinkan menjadi 270 kaki (80 meter).

Perubahan ini diharapkan dapat menjadi katalisator untuk meningkatkan inovasi di lapangan.

Melihat fakta tersebut, jelas ada upaya yang didorong untuk merancang bangunan kayu pencakar langit yang lebih tinggi lagi di dunia.

Material kayu ini memiliki sejumlah manfaat jika dibandingkan dengan bangunan konvensional yang umumnya terbuat dari baja dan beton.

Kayu dinilai merupakan material berkelanjutan dan ramah terhadap lingkungan.

Sebuah penelitian menyebutkan, energi yang terkandung dalam baja dan tingkat emisi gas rumah kaca sangalah buruk.

Bahkan hanya satu meter persegi ruang lantai yang didukung oleh balok baja dapat memancarkan 40 kilogram CO2 dan membutuhkan 516 megajoule (MJ) energi.

Demikian pula material beton, tidak jauh lebih baik. Di mana beton dapat menghasilkan 27 kilogram CO2 dan 290 megajoule (MJ) energi.

Sebaliknya, satu meter persegi luas lantai yang ditopang oleh balok kayu hanya mengeluarkan 4 kilogram CO2 dan hanya membutuhkan energi 80 megajoule (MJ).

Dengan kata lain, membangun ruang seluas satu meter persegi dengan kayu akan mengurangi emisi karbon hingga sepersepuluh dari hasil aslinya.

Kesimpulan ini dikuatkan oleh penelitian lain yang menemukan emisi siklus hidup rumah kayu menjadi 74 persen lebih rendah daripada rumah baja dan 69 persen lebih rendah daripada rumah beton.

Selanjutnya, manfaat ini ditambah dengan sifat kayu yang memang merupakan bahan alami.

Artinya tidak hanya sebagai sumber daya terbarukan yang tumbuh secara alami, tetapi karena proses yang disebut penyerapan karbon, karbon yang terperangkap oleh pohon saat tumbuh disimpan di dalam kayu untuk sehingga memiliki manfaat dan relatif lebih awet digunakan.

Akibatnya, pergeseran pembangunan baru dari konstruksi baja dan beton ke kayu yang lebih tinggi dapat berdampak signifikan terhadap lingkungan.

Saat ini, kayu yang dipanen setiap tahun hanya menyumbang 20 persen dari pertumbuhan tahunan.

Meningkatkan porsi ini menjadi 34 persen akan menghindari 14 hingga 31 persen emisi CO2 global yang dihasilkan oleh baja dan beton dan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil global sebesar 12 persen hingga 19 persen.

Bangunan kayu tinggi juga bahkan telah terbukti mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, dan bahkan dapat melindungi hutan melalui pemanenan yang sadar lingkungan. (kompas.com)