Apakah Covid-19 akan Tetap Dibiarkan jadi Ancaman?

Sabtu, 05 September 2020

SUDAH habiskah pandemi korona? Pertanyaan itu sering terlontar karena suasana kehidupan saat ini telah seperti kembali ke situasi sebelum merebak virus ini.
   Di mana-mana tampak seenaknya orang berkumpul tanpa pembatas sama sekali. Tanpa masker. Bahkan sudah banyak pula yang kembali ke kebiasaan lama, seperti bersalaman dan juga cipika-cipiki.
   Keadaan seperti ini sebenarnya harus segera dihentikan. Pandemi covid-19 yang sangat berbahaya itu jangankan habis, berkurang pun tidak sama sekali. Bahkan sejak akhir Agustus silam sudah menunjukkan tren kenaikan yang tinggi.
   Di Riau, misalnya, dalam sepekan ini terjadi lonjakan yang besar. Setiap hari lebih 100 orang yang dinyatakan positip covid-19. Secara nasional angka kenaikannya juga cukup signifikan. Terutama di Jakarta,dan kota-kota besar lainnya.
   Lebih mengkhawatirkan lagi, seperti diberitakan kemarin, di India sudah empat juta orang yang jadi korban virus mematikan ini. Padahal sebelumnya jauh di bawah itu. Makanya India kini menduduki peringkat ketiga di bawah Brazil yang masih tetap top ranking.
   Kalau tak berhati-hati, siapa tahu Indonesia bisa saja akan menggantikan posisi Brazil dan India. Upaya-upaya yang selama ini dilakukan akan menjadi sia-sia jika masyarakat semakin tidak mematuhi protokol kesehatan yang sudah dibuat.
   Dibukanya pembatas-pembatas sosial menyebabkan masyarakat merasa pandemi telah berakhir. Status new normal yang diberikan justru membuat masyarakat kembali kepada kebiasaan lama. Padahal ini untuk menuntun masyarakat agar mengubah kebiasaan lamanya menjadi selalu memakai masker ke luar rumah, menjaga jarak dalam berinteraksi dengan orang lain, dan keluar rumah hanya jika diperlukan.
   Ironisnya, karena mal dan pusat perbelanjaan dibuka, masyarakat pun mendesak agar tempat ibadah juga dibuka. "Mal bisa buka, mesjid kok tak bisa." Begitu desakan dari masyarakat.
   Padahal, seperti diketahui, sarana bisnis itu dibuka karena pertimbangan bisnis semata. Jika tidak dibuka ibarat dagang mereka akan karam. Atas pertimbangan tersebut, mal pun dibuka dengan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat. Para pengunjung harus memakai masker, mencuci tangan, diukur suhu tubuh, bahkan di sebagian tempat tak membenarkan transaksi tunai. 
    Tempat ibadah sendiri sebenarnya ditutup untuk menjaga kemasyahalatan umat. Jadi jangan sampai menjadi klaster penularan virus ini. Memang, hingga saat ini belum terdengar mesjid menjadi klaster. Namun, kemungkinannya bisa saja terjadi. Sebab, di sini terjadi interaksi yang cukup tinggi antarjamaah. Yakni pada sholat lima waktu setiap hari. Ditambah dengan sholat Jumat yang desakan jamaah lebih besar lagi. Jamaah mesjid membuka alas kaki, duduk atau berdiri rapat, dan beberapa aktivitas ibadahnya dapat membuat orang yang terkena covid - 19 menularkannya kepada orang lain.
   Memang sudah banyak mesjid yang buka dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Namun masih tetap ada jamaah yang mempertentangkannya. Mereka berpegang pada sunnah merapatkan syaf, dan tidak boleh menutup mulut saat sedang sholat.
   Perlu diketahui, sebelum mengeluarkan peraturan kesehatan yang berkaitan dengan keagamaan ini sebenarnya sudah banyak diminta masukan dari ulama. Tak cuma ulama di Indonesia saja yang mengeluarkan pendapat. Tapi juga ulama-ulama di negara lain. Termasuk juga Arab Saudi dan Mesir, yang jadi gudangnya ulama.
   Karena itu, mengingat pandemi covid-19 ini masih terus berkepanjangan, bahkan menunjukkan tren meningkat, sebaiknya masyarakat harus semakin patuh dengan protokol kesehatan. Sudah banyak korban yang berjatuhan. Bahkan dokter sudah mencapai seratusan orang yang meninggal karena covid-19. Apakah kita harus membiarkan virus korona ini terus sebagai ancaman? (wan/propertybisnis.com)