Hijrah Bertani ke Kota

Jumat, 04 September 2020

GEDUNG pencakar langit di Singapura dan kota besar lainnya di mancanegara kini sedang ngetren merambati dinidngnya dengan hijaunya pepohonan. Semuanya tanaman asli, yang sebagian diantaranya bisa dinikmati buah atau daunnya.

 

   Upaya yang dilakukan pada awalnya memang untuk membuat suasana gedung tampak asri, sekaligus guna melestarikan lingkungan. Namun, di balik itu, ternyata upaya ini juga dapat menghasilkan keuntungan. Hasil panenannya bisa dikonsumsi sendiri, bahkan juga dijual.

 

   Maka, tak heran jika di gedung-gedung perkantoran kini banyak ditanam pohon buah-buahan dan sayuran. Buah markisa tampak menggantung menjelang pintu masuk. Di dalamnya lalu disambut dengan hijaunya dedaunan sayur sawi yang sudah siap dipanen. Bahkan ada pula buah anggur yang bergantungan di bagian tengah atas meja rapat, sehingga menjadikan suasana tetap terasa segar di situ.

 

   Lebih menakjubkan lagi, ada pula gedung yang memanfaatkan ruang kosongnya untuk ditanami padi. Ya, bertani seperti yang dilakukan petani di sawah. Cara penanaman sayur maupun buah-buahan ini bisa dengan sistem tambulapot (tanaman buah dalam pot), maupun dengan hidroponik.  

 

   Lebih menarik lagi karena penanaman dan perawatan tanaman ini umumnya dilakukan oleh karyawan yang bekerja di situ. Termasuk yang menanam dan memanen padi. Hasilnya bisa mereka nikmati bersama, tapi ada juga yang dijual jika produksinya sudah cukup banyak.

 

   Sebuah mal di Jakarta Timur kini sedang menawarkan lantai atapnya seluas 4.000 meter persegi untuk ditanami sayur hidroponik. Suatu hamparan yang cukup luas, yang kalau dibandingkan dengan menanam sayur di lahan biasa bisa hampir seluas 2 hektare. Dalam iklannya yang dilayangkan secara daring, disebutkan lokasinya dekat ke tempat-tempat penjualan sayur.

 

   Seandainya kerjasama ini sudah berjalan lancar, boleh jadi pemilik gedung-gedung lainnya di Jakarta juga akan meniru. Sebab tanpa memerlukan hamparan lahan yang luas, dapat menghasilkan panenan yang sama jumlahnya. Sementara biaya transportasi menjadi semakin sedikit, sedangkan sayur dan buah-buahannya masih segar karena baru dipetik.

 

   Di Singapura kini atap-atap rumah telah dirancang untuk dua hal. Untuk solar cell pembangkit tenaga listrik, atau untuk lahan perkebunan sayur dan buah-buahan. Dengan kata lain, tak ada lagi ruang mubazir di sebuah gedung yang biaya operasionalnya sudah cukup mahal.

 

   Di Indonesia sendiri sebenarnya perkantoran sudah meletakkan tanaman-tanaman di berbagai pejuru ruangan. Namun, kebanyakan tanaman tersebut hanya sebagai hiasan dan penyejuk saja. Belum terwujud penanaman tanaman yang bisa menghasilkan, seperti yang dilakukan di kota-kota besar dunia. Padahal, aneka tanaman sayur dan buah-buahan sangat banyak di Indonesia. Sehingga tidak perlu lagi penyesuaian suhu, kondisi tanah, dan air.

 

   Semakin disadari ruang kosong di kawasan perkotaan kini kian sedikit. Itu bisa ditandai dengan bermunculannya bangunan gedung jangkung di mana-mana. Sayangnya, jika tidak ditata untuk tanaman, bangunan ini nanti akan jadi mubazir. Terlebih jika berkebun di kawasan perkantoran itu nantinya dapat menghasilkan panen yang menggiurkan. Bisa-bisa akan banyak yang hijrah bertani ke kota. (wan/propertybisnis.com)