Karlahut dan Ibadah

Rabu, 02 September 2020

(Foto: antara)

KEMARIN diberitakan pemerintah akan mengerahkan sebanyak 30-an helikopter untuk mencegah kebakaran lahan dan hutan (karlahut). Suatu langkah yang sangat bagus guna menjaga kelestarian alam dan lingkungan.
   Menjadi pengalaman pahit bagi kita semua bagaimana tidak mengenakkannya saat terjadi karlahut beberapa tahun silam. Asap tebal merebak ke mana-mana sehingga menimbulkan terjadinya berbagai kendala. Jarak pandang hanya beberapa meter membuat sarana perhubungan menjadi terganggu. 
   Para nelayan tak berani melaut. Begitu pula armada pelayaran yang membawa penumpang dan barang. Jalur penerbangan juga terimbas, menyebabkan jadwal penerbangan terpaksa dihentikan. Belakangan sekolah pun terpaksa diliburkan karena dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan murid.
   Memadamkan api dengan menumpahkan air dalam wadah yang dibawa helikopter memang kini menjadi hal yang sangat efektif. Proses pemadaman bisa cepat terlaksana, dan dapat menjangkau lokasi kebakaran yang tersulit sekali pun. 

Sebuah bejana berisi ratusan kubik air digantungkan dibawa helikoter lalu ditumpahkan di lokasi kebakaran. Setelah air habis bejana kosong dibawa lagi ke tempat pengumpulan air atau sungai. Cukup dengan dicemplungkan saja air sudah mengisi kembali. 
   Di luarnegeri cara seperti ini juga sudah dilakukan karena daya kerjanya yang cukup tinggi. Kendati begitu, jika hamparan kebakaran terlalu luas, pemadaman api dengan cara ini butuh waktu yang lama. Apalagi jika yang terbakar adalah lahan gambut dalam. Api sekam yang berada di bagian dalam biasanya sangat sukar untuk dipadamkan.
   Satu-satunya cara pemadaman yang paling efektif adalah turunnya hujan yang sangat deras. Api yang tersembunyi di bagian dalam juga akan segera padam.
   Itu makanya metode pemadaman lain yang dilakukan adalah dengan melakukan hujan buatan. Dengan menggunakan pesawat terbang kecil garam ditaburkan ke gumpalan sehingga memancing turunnya hujan. 
   Proses penuaian hujan buatan seperti ini sudah sering dilakukan di tempat lain. Namun, salah satu kelemahannya adalah jika tidak ada gumpalan awan pembawa hujan di lokasi kebakaran lahan. Sementara saat ini belum ditemukan cara untuk menggiring awan menuju sasaran kebakaran lahan.
   Cara konvensional memadamkan api dengan cara menyemprotkan sebenarnya masih terus dilakukan. Baik oleh pasukan pemadam kebakaran, maupun dibantu tentara atau pihak lainnya. Tapi, sama seperti pemadaman  lewat helikopter maupun pesawat terbang, semuanya memerlukan biaya yang tak sedikit.
   Karena itu, alangkah baiknya jika mulai dari sekarang dilakukan pendekatan cara agamis. Seperti diketahui, di dalam agama Islam ada doa meminta hujan, bahkan juga sholat meminta hujan. Semoga di agama lain juga ada begitu.
   Agar umat lebih bergairah lagi melakukan ritual ini, lebih baik lagi jika digabung dengan kenduri atau makan siang bersama. Semakin banyak umat yang melaksanakan ibadah tersebut, diharapkan akan kian terkabul hajatnya. Semoga. (wan)