Sawit Habis, Kakao pun Berjaya

Jumat, 28 Agustus 2020

DARI balik jendela Suparjo menatap hamparan pohon sawit disekelilingnya. Tak terasa sudah puluhan tahun pohon ini menemani kehidupan mereka sekeluarga di Desa Pelambaian, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau.

   Sawit, pohon bertuah yang telah menyulap jalan hidup warga di sini. Diawali dari petani transmigran yang miskin, kini menjadi keluarga yang hidup berkecukupan. Tempat tinggal mereka yang dulu gubuk papan seluas 6 x 5 meter, telah berubah menjadi rumah yang bagus. Lebih menggembirakan lagi, mereka pun  telah mampu menyekolahkan anak sampai ke jenjang perguruan tinggi.

   Namun, deretan pohon sawit yang berbaris teratur itu belakangan ini mulai menjadi sosok yang menakutkan bagi Suparjo. Juga bagi ratusan petani sawit lainnya di kawasan itu. Betapa tidak, usia pohon sudah semakin tua, sehingga hasil panen pun kian merosot.

   Jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah replanting atau peremajaan tanaman. Pohon sawit yang sudah uzur ditebang lalu digantikan dengan pohon baru. Ini semua tentu memerlukan biaya yang besar. Lebih menakutkan lagi, mulai dari penebangan, penanaman, hingga mendapatkan panen kembali setidaknya membutuhkan waktu lima tahun. Berarti mereka harus punya tabungan untuk biaya hidup selama itu.

   “Saya khawatir kalau menunggu sawit kembali berbuah, warga akan menjual televisi, parabola, kulkas, bahkan saya takut warga juga akan menjual tanahnya,” kata Supriono, Kepala Desa Pelambaian.

   Seperti Suparjo, Supriono juga adalah petani sawit bersama ratusan kepala keluarga lainnya di desa ini. Mereka peserta transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa pada 1988 silam, dengan bapak angkat perusahaan perkebunan milik Negara, PTPN V. 

   Dalam program ini setiap kepala keluarga diberikan lahan untuk kebun sawit seluas dua hektare, lahan pekarangan 0,5 hektare, dan diatasnya dibangunkan rumah papan 6 x 5 meter untuk tempat tinggal. Mereka juga mendapat jatah hidup berupa bantuan beras dan ikan asin, serta mendapat penghasilan dari membantu perusahaan perkebunan ini membangun kebun kelapa sawit di lahan mereka sendiri.

   Buah manisnya hasil kerja keras memang sudah lama mereka nikmati. Namun, saat-saat menghadapi masa sawit yang mulai berkurang panenannya, muncullah rasa kekhawatiran. 
  
   Beruntunglah, sebagai kepala desa yang merasa bertanggungjawab terhadap warga, Supriono rupanya tak ingin warganya akan mengalami keterpurukan hidup. Dari mendengar sana-sini, Supriono dapat masukan kalau pohon kakao atau coklat bisa dihandalkan sebagai tanaman alternatif di tanah pekarangan.  Pohon ini cepat berbuah, dan harga buah relatif mahal dan stabil. Tidak naik turun seperti buah sawit.

   Atas saran Dinas Pertanian setempat Supriono nekat mengajak warganya melakukan studi banding ke petani kakao di Sumatera Barat, Jambi, bahkan juga sampai ke Aceh. Dari sana mereka juga sekalian membawa pulang bibit kakao. Namun, tatkala ditanam kakao tampak tidak tumbuh maksimal. Rupanya lahan mereka adalah gambut yang memiliki keasaman tinggi.

   Tak meyerah begitu saja, seorang petani bernama Edi Siswanto alias Tusam, lalu berimprovisasi. Tusam mencampurkan beberapa pupuk unggulan sehingga pertumbuhan pohon semakin baik. “Ternyata buahnya menjadi lebih besar daripada yang kami lihat waktu studi banding di Aceh,” katanya. Berkat keberhasilan itu kemudian Tusam pun mendapat gelar baru sebagai ‘profesor es doger”. Bukan S2 atau S3.

   Keberhasilan tersebut menimbulkan keinginan warga Pelambaian ini untuk menanam kakao secara menyeluruh di lahan pekarangan. Namun, karena terbentur pada masalah skill dan juga dana, proposal pun disebarkan ke berbagai perusahaan. Sebagian proposal tersebut tak jelas juntrungannya.

   Bak kata pepatah: pucuk dicita, ulam tiba, perusahaan pengeboran minyak PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI) yang juga mendapat kiriman proposal rupanya merasa tertarik untuk membantu. Ketertarikan tersebut karena proposal ini sejalan dengan program Prisma (Promoting Sustainable Integrated Farming, Small Medium Enterprise Cluster and Microfinance Access) yang mereka lakukan. “Ini program investasi sosial pengembangan ekonomi dari Chevron untuk petani dan usaha mikro,” kata  Sonitha Poernomo, Manager Corporate Communication PT CPI.

   Menurut Sonitha, Prisma menerapkan strategi membuat pasar bekerja untuk petani dan pelaku usaha kecil yang menitikberatkan pada penyediaan fungsi pendukung. Yaitu akses ke berbagai layanan. Termasuk akses ke pengetahuan, ketrampilan, bahan baku, pasar dan hubungan antarpasar, teknologi, dan sebagainya.  

   Prisma diluncurkan CPI di Riau sejak 2015 silam. Hingga Desember tahun lalu, program ini telah merangkul sebanyak 2.200 petani dan pelaku usaha mikro. Yakni dari 41 kelompok yang tergabung dalam 21 induk kelompok binaan. Selain Prisma, CPI juga mendukung masyarakat di sekitar area operasi melalui kegiatan pengembangan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan Coorporate Social Responcibility (CSR). Kegiatan ini terutama pada bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, rehabilitasi bencana, serta budaya dan infrastruktur.  “Kita memang berkeinginan masyarakat di sekitar area operasi mendapatkan manfaat dari kehadiran perusahaan ini di Riau,” tambah Sonitha.   

   Singkat cerita, melalui program Prisma, pada 2017 lalu CPI pun mulai membantu para petani di Desa Pelambaian. Selain bantuan dana segar, tenaga ahli yang faham dengan tanaman kakao pun diundang untuk membimbing petani setempat. Sonitha menambahkan, masyarakat juga diberikan pelatihan manajemen pembibitan, tehnik sambung bibit, hingga perawatan dan penyusunan rencana usaha.

   Saat ini, menurut Jamri, Ketua Kelompok Tani Prijata, mereka sudah memiliki lima divisi. Divisi Produk Bibit, Hama dan Penyakit, Pemasaran, Pelatihan, dan Perawatan. “Alhamdulillah, kalau dulu banyak biji coklat yang tidak tumbuh, sekarang hampir semuanya berhasil,” katanya saat dihubungi, Kamis (20/8/2020).

   Menariknya lagi, meskipun boleh dikatakan baru seumur jagung, Kelompok Tani Prijata sudah mampu menghasilkan bibit kakao unggul yang sudah bersertifikat. Bibit yang dibuat dengan cara okulasi tersebut selain dipergunakan sendiri, juga untuk para petani sawit binaan di sekitarnya. Kendati begitu, menurut Jamri, pembibitan dilakukan hanya jika ada permintaan. Sebab kalau dibuat stok, bibit kakao hanya memiliki masa hidup selama setahun. “Kalau tidak segera ditanam akan mati atau menjadi kerdil, sehingga tidak bagus lagi ditanam,” tambahnya.

    Keberhasilan para petani di Desa Pelambaian mengembangkan tanaman kakao membuat PT Chevron kemudian tertarik untuk menjadikannya sebagai ISP (Intermediate Service Provider), yakni Induk  Kelompok Binaan. Kelompok tani binaan itu diberi nama Prijata. Singkatan dari Prima Jaya Tapung. 

   Setakat ini, menurut Jamri, sudah 10 desa di Kecamatan Tapung Hilir, Tapung Hulu, dan Bangkinang Seberang, yang menjadi binaan Prijata. Seperti warga Desa Pelambaian, petani sawit di sana juga menanami lahan pekarangan mereka dengan pohon kakao. Bahkan sebagian diantaranya sudah mulai memanen hasil.

   Para petani bercerita, lahan pekarangan di belakang rumah seluas 0,5 hektare bisa ditanam 400 batang pohon kakao. Jika sudah berbuah, hampir setiap hari bisa dipanen lalu dijemur. Setiap pekan dihasilkan sekitar 45 kilogram kakao kering. Dengan harga jual sekitar Rp 20.000 per kilogram, berarti setiap pekan menghasilkan pendapatan Rp 900.000.  Sementara sawit, menurut mereka, dalam kondisi sekarang ini hanya menghasilkan Rp 1.800.000/hektare per bulan.

   Karena itu, menurut Jamri, wajar saja jika kini sudah mulai banyak anggotanya yang mereplanting pohon sawit dan kemudian dijadikan kebun kakao. Bayang-bayang suramnya masa depan berkebun sawit pun akhirnya mulai menghilang dari benak para petani asal transmigran ini. Saat menatap dari jendela, Suparjo dan juga ratusan petani sawit di sekitarnya kini mulai melihat kecerahan dari balik dedaunan pohon kakao yang kini sudah berbuah ranum. (Irwan E. Siregar)