Bila Jaksa jadi Tersangka

Rabu, 19 Agustus 2020

SAAT ini boleh dikatakan menjadi bulan kejaksaan. Bukan karena jaksa kini sering jadi bulan-bulanan. Tapi, aparat hukum itu memang lagi apes.
  
   Selasa kemarin, misalnya, Kejaksaan Agung menetapkan Kepala Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu, Riau, Hayin Suhikto, menjadi tersangka kasus pemerasan kepada 63 Kepala Sekolah Menengah Pertama. Selain HS, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus OAP dan Kepala Subseksi Barang Rampasan di Kejaksaan itu juga ikut jadi tersangka.


    Sehari sebelumnya diberitakan jaksa Fedrik Adhar Syaripuddin meninggaldunia. Penyebab kematiannya disebutkan karena covid-19.
  
   Boleh jadi ini yang pertama ada pegawai kejaksaan yang meninggal dunia akibat covid-19. Namun bukan itu yang menyebabkan berita kematian ini menjadi viral atawa menjadi perbincangan di dunia online.
  
   Jaksa yang disebut-sebut kaya dan glamour ini bisa terkenal setelah memberikan tuntutan hukuman yang sangat ringan terhadap terdakwa pelaku penyiraman air keras kepada penyidik KPK, Novel Baswedan. Hal ini dinilai khalayak sebagai upaya untuk memperlemah lembaga antirasuah ini. Sebaliknya, para koruptor semakin diberi angin untuk tidak jera menjarah kekayaan negara ini.

    Satu lagi ada seorang jaksa yang juga menjadi viral. Jaksa bernama Pinangki yang masih muda dan berwajah manis itu ketahuan sering bertemu dengan koruptor buronan, Djoko Tjandra.
 
  Bak kata orang, figur jaksa juga adalah manusia, yang bisa saja silap melakukan kesalahan. Namun, karena tugasnya sebagai penegak hukum yang berfungsi menjaga kebenaran, maka setiap aparat kejaksaan harus bisa menjaga diri dari perbuatan tercela. Apalagi yang sampai melanggar hukum.

  
   Tengoklah yang dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri, Hayin Suhikto ini. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Hari Setiyono, mengatakan pihaknya menduga ketiga tersangka meminta sejumlah uang kepada puluhan kepala sekolah terkait pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah tahun anggaran 2019. Total duit yang diterima diperkirakan berjumlah Rp 650 juta. "Kepala sekolah ada yang Rp 10 juta hingga Rp 15 juta," kata dia.
   Ketua Lembaga Bantuan Hukum Persatuan Guru Republik Indonesia Riau, Taufik Tanjung, mengatakan

para kepala sekolah diperas dengan ancaman akan diperkarakan terkait pengelolaan dana BOS. Pemerasan itu telah terjadi sejak 2017. "Ancamannya ditakuti akan menjadi tersangka dan dicopot dari PNS,” kata Taufik.

   Kasus pemerasan ini pertama kali diketahui ketika 63 kepala sekolah serempak mengundurkan diri. Taufik Tanjung mengatakan pengunduran diri itu dilakukan sebagai bentuk protes dari tindak pemerasan yang mereka alami.

   Hari Setyono mengatakan kejaksaan telah mencopot ketiga jaksa begundal ini dari jabatannya. Mereka juga sudah ditahan.

    Alhamdulillah, semoga kasus ini bisa jadi peringatan bagi jaksa dan aparat penegak hukum lainnya yang gemar bermain-main dengan hukum. (wan/propertybisnis.com)