Biodisel: Subsidi untuk Para Cukong Sawit

Senin, 17 Agustus 2020

(Foto: antara)

SABTU pekan lalu berlangsung diskusi daring bertopik: “Monopoli Mata Rantai oleh Industri Biodisel dalam Program B30". Diskusi yang diselenggarakan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) diikuti kelompok petani sawit dari sejumlah daerah di Indonesia.

   Dalam pembicaraan tersebut dibahas tentang upaya pemerintah Indonesia menggalakkan program produksi biodisel yang dilakukan secara agresif dalam beberapa tahun terakhir.

   Seperti diketahui biodisel adalah perpaduan antara minyak solar dengan minyak sawit mentah (CPO). Awalnya kilang minyak Pertamina berhasil memproduksi biodisel 20, dengan rasio campuran 80 persen solar dan sisanya minyak nabati itu. 

  Setelah sukses tahun lalu dengan B20, kini Pertamina menggenjot biodisel B30, yang lebih ramah lingkungan. Bahan bakar untuk mesin diesel ini terutama dibuat di kilang minyak Pertamina Dumai serta  PT Wilmar Grup, yang juga berlokasi di Kawasan Industri Pelintung Dumai, Provinsi Riau.

   Menariknya, kendati sebagian produksi dilakukan perusahaan swasta, pemerintah tetap menggelontorkan subsidi. Tujuannya agar program yang diunggulkan Presiden Jokowi ini dapat berjalan lancar.

   Insentif yang diberikan sampai tahun ini sudah  mencapai Rp 30,2 triliun. Bahkan, karena pandemi pemerintah mengucurkan lagi dana tambahan Rp 2,78 triliun. Alasan pemberian insentif karena produsen masih harus menanggung biaya lebih tinggi untuk memproduksi biodisel. Pemerintah menyerahkan dana tersebut  kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)

   Dalam diskusi daring yang sangat menarik tersebut,  Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, mengungkapkan bahwa dana besar itu hanya dinikmati korporasi sawit besar.

   Maklum saja, perusahaan sawit raksasa ini bukan hanya bergerak di industri hilirnya saja. Tapi sampai ke kebun sawitnya juga punya mereka. "Jadi ini merupakan monopoli para konglomerat sawit," katanya.

   Darto juga mempersoalkan bahan baku industri biodisel yang sebagian dari perusahaan asing Malaysia. 

   Dominasi korporasi besar ini, kata Darto membuka kartu, sudah dimulai sejak penetapan nama pejabat di Dewan Pengawas BPDPKS. Tiga nama yang duduk di dalamnya adalah pemilik usaha perkebunan sawit raksasa.

   Dengan memaparkan data, Darto mengungkapkan bahwa dana insentif B30 itu justru mengalir ke perusahaan asing. Ia memberikan contoh salah satu penerima insentif yang mengambil pasokan kelapa sawit dari 83 perusahaan yang terbagi dalam 34 grup usaha. Dari 34 grup usaha itu, empat diantaranya adalah grup usaha asal Malaysia. Maka wajar jika Darto mempertanyakan, mengapa petani sawit kecil justru tidak masuk dalam skema pasokan bagi pemenuhan progran B30 tersebut. "Mengapa mereka lebih penting daripada petani?” tanya Darto.

   Karena itu Darto meminta agar presiden Jokowi melakukan evaluasi, untuk mengurangi pengaruh korporasi besar dalam BPDPKS. Dia juga berharap  BPK dan KPK segera melakukan audit pemanfaatan dana insentif itu. 

   Selain itu Darto juga mengatakan akan lebih baik lagi jika perwakilan pemerintah daerah di mana lokasi perkebunan sawit banyak berada, dilibatkan dalam pengelolaan dan pengawasan triliunan aset negara tersebut. "Petani sawit kecil juga harus dilibatkan," pintanya.

   Dalam diskusi daring yang juga diikuti Wakil Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Beni Hernedi, Darto menuntut agar bahan baku biodisel 30 dan D100 yang sedang dikembangkan pemerintah berasal dari petani sawit.     “Karena dengan cara-cara itu petani akan bisa menjadi lebih sejahtera daripada mereka menjual pada tengkulak,” kata Darto. (wan/propertybisnis.com)