Referendum Penolakan Kelapa Sawit RI Masuk ke Mahkamah Konstitusi Swiss

Rabu, 24 Juni 2020

(Foto: dok. Kontan)

 

 ZURICH - Kampanye penolakan produk kelapa sawit / crude palm oil (CPO) dan turunannya dari Indonesia di Swiss terus berlanjut. Terbaru, usulan referendum penolakan produk kelapa sawit dan turunannya tersebut masuk ke Bundekanzlei, Mahkamah Konstitusi Swiss.

Uniterre, lembaga swadaya masyarakat di Swiss berhasil menggalang suara untuk mengusulkan referendum penolakan produk kelapa sawit dan turunannya ke Mahkamah Konstitusi Swiss.

Pada Senin, 22 Juni 2020, Uniterre membawa 26 kotak yang berisi 59.200 tanda tangan permintaan referendum penolakan produk kelapa sawit dan turunannya. "Jika disetujui, setelah diteliti keabsahannya, tentunya, referendum penolakan produk kelapa sawit Indonesia, hanya soal waktu,“ tutur Mathias Stalder, sekretaris Uniterre, kepada Kompas.com .

Mathias yakin, referendum, penentuan nasib pemasaran produk kelapa sawit, akan disetujui Makahmah Konstitusi Swiss. Seperti biasa, ritual penyerahan kotak berisi tanda tangan untuk meminta referendum, diisi orasi dari Uniterre.

Isinya, bagaimana industri kelapa sawit menghancurkan lingkungan hidup. Sekaligus tentang keberuntungan yang diperoleh perusahaan besar. Ada puluhan wartawan, tidak terkecuali televisi Swiss dan kantor berita media arus utama.

Ronja Jansen, Presiden Juso (Jung Sozialdemokratische Partei Schweiz), berharap referendum ini akan menjadi kenyataan. "Apa yang diakibatkan oleh Industri Kelapa Sawit sangat fatal. Lingkungan hidup di Indonesia rusak, dan juga pada akhirnya berpengaruh ke pemanasan global,“ katanya kepada Kompas.com.

Ronja sendiri berada dalam dilema, karena induk partai politiknya, Sozialdemokratische Partei Schweiz (SP), ikut meneken kontrak persetujuan perdangan dengan Indonesia. "Tapi saya disini tidak mewakili SP,“ katanya.

Meski dalam perjanjian kerja sama itu ditekankan tidak ada lagi perusakan lingkungan, Ronja ragu pemerintah Indonesia bisa bersikap tegas. "Bagaimana pengaturannya nanti. Dan bagaimana sanksinya kalau tidak ditepati perjanjiannya. Ini juga harus dipikirkan,“ imbuhnya.

Menurut Ronja, perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Swiss hanya menguntungkan industri besar. "Lebih banyak mudharatnya ketimbang keuntungannya. Saya berharap, referendum akan disetujui dan rakyat Swiss yang akan menentukan,“ katanya.

Masyarakat Swiss saat ini menggunakan minyak goreng dari perasan biji canola, yang sebagian besar diproduksi petani Swiss. Lalu bunga matahari, kacang tanah dan buah zaitun. Minyak canola saat ini dikampanyekan sebagai minyak paling sehat, bersama dengan minyak zaitun.

 

Sementara mentega yang ada di Swiss sebagian besar diproduksi dari susu sapi petani lokal. Dalam kerja sama Swiss dan Indonesia, Swiss mendapatkan potongan harga 40% produk minyak sawit.

 

Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Muliaman Hadad mengatakan, bahwa kerja sama antara Swiss dan Indonesia, akan menguntungkan kedua belah pihak. "Ada 280 juta jiwa di Indonesia yang akan menjadi pangsa pasar Swiss. Jika kita bicara Asia Tenggara, akan ada lagi 700 juta jiwa sebagai pangsa pasar lainnya,“ kata Muliaman Hadad seperti dikutip Swissinfo.

 

Dalam perjanjian kerjasama dagang tersebut, produk kelapa sawit yang akan masuk Heidiland dibatasi hanya 10.000 ton. Jumlah yang sebenarnya tidak banyak untuk keseluruhan ekspor produk kelapa sawit Indonesia yang mencapai 35 juta ton per tahunnya.

 

Menurut Nur Hasanah , Doktor lulusan ETH Zurich yang meneliti kelapa sawit, jumlah 16 juta hektar perkebungan kelapa sawit yang ada di Indonesia, tidak semua merupakan perambahan hutan. "Hanya empat juta hektar hasil deforestasi. Sisanya, 12 juta hektar free deforestrasi,“ katanya kepada Kompas.com.

 

Saat ini, imbuh Nur Hasanah, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan industri kelapa sawit sudah melakukan revisi dan terus berupaya dalam pencapaian industri kelapa sawit berkelanjutan. "Ada penekanan transparansi di semua bidang, termasuk tanggung jawab ke pekerja dan lingkungan sosial. Tentu saja juga peningkatan pengelolaan biodiversitas dan sumber daya alam,“ tegas Nur Hasanah.


Nur Hasanah berpendapat, Uniterre yang mengkampanyekan luasnya perusakan hutan tropis berlebihan. Luas Swiss dan Indonesia sangat beda. "Kutai Kertanegara saja, daerah industri kelapa sawit yang saya teliti, luasnya setengah dari Swiss,“ tegas Nur Hasanah. Dalam kampanyenya, Uniterre menyebutkan bahwa ladang kelapa sawit yang berjumlah 13 juta hektar itu, sama dengan tiga kali lipat luas negara Swiss. Uniterre menyebutnya sebagai green desert. (Kompas/kontan)