Selamatkan Ekonomi, Program Mandatori B30 Harus Dilanjutkan

Rabu, 17 Juni 2020

Petani membawa kelapa sawit hasil panen harian di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. (Foto: Bisnis - Nurul Hidayat)

JAKARTA – Mandatori B30 merupakan program prioritas nasional sehingga perlu diteruskan untuk penyelamatan dan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Adiningsih meyakini pandemi Covid-19 ini sifatnya temporer. Keyakinan ini diperkuat dengan prediksi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional bahwa perekonomian dunia akan pulih pada tahun depan, bahkan tumbuh di atas 4%.

“Pemulihan ekonomi itu juga akan terjadi di Indonesia,” katanya ketika dihubungi wartawan, Rabu (17/6/2020).

Sri Adiningsih memaklumi kondisi saat ini ini memang berat. Di masa pandemi Covid-19 ini, pemerintah telah bekerja keras untuk mengatasi pandemi Covid-19, dampak yang ditimbulkan dan pemulihan ekonominya. “Itu memang prioritas yang harus dilakukan pemerintah,” tegasnya.

Namun dalam membangun negara dan bangsa, di kala ada goncangan ataupun krisis, tidak kemudian proses pembangunan yang telah berjalan lantas dihentikan atau diubah secara total. Jika terjadi krisis seperti saat ini yang perlu dilakukan adalah penyesuaian-penyesuaian terhadap program pembangunan yang sudah berjalan.

Dia menyarankan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan program B30 sebaiknya berbagi peran atau menanggung beban bersama-sama agar program ini tetap bisa dilaksanakan, seperti merelakan keuntungan dikurangi seiring dengan meningkatnya pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya, per 1 Juni 2020.

Produsen biodiesel harus melakukan efisiensi supaya produk yang dihasilkan harganya bisa lebih kompetitif. Sementara itu pihak pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,78 triliun kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk keberlanjutan program ini.

Menurut Sri Adiningsih, pengalokasian anggaran negara tersebut tidak perlu dipersoalkan mengingat B30 yang merupakan bagian dari program energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) ini di awal-awal pelaksanaannya memang membutuhkan biaya yang tidak murah.

“Di mana saja memang begitu. Brasil, Jerman dan di negara-negara yang akhirnya memberlakukan EBTKE, di awal-awalnya semuanya juga melakukan subsidi. Ini tidak hanya pada industri EBTKE saja, namun semua industri memang begitu. Di awalnya memang perlu subsidi, tapi saat kapasitas produksinya banyak maka dengan sendirinya akan efisien sehingga tak perlu subsidi lagi,” ujar Sri Adiningsih.

Jadi, kata Sri Adiningsih, program ini harus tetap dilaksanakan walaupun saat ini harga solar lebih murah jika dibandingkan dengan biodiesel. Perlu diingat bahwa, harga solar pun fluktuatif dan pernah di atas harga CPO yang merupakan bahan baku biodiesel, seperti yang terjadi pada 2019 lalu.

Program EBTKE itu, kata Sri Adiningsih, ke depan menjadi keharusan. Dunia ini tidak mungkin terus-terusan mengandalkan minyak bumi dan batu bara. “Program EBTKE ini kan harus kita lakukan, dan kita ini beruntung memiliki sawit melimpah yang menjadi resources untuk energi,” katanya.

Di tempat terpisah, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat M.P. Manurung mengatakan program B30 inilah yang menyelamatkan harga tandan buah segar (TBS) petani. “Karena B30 ini harga sawit petani tertolong,” katanya.

Faktanya, kata Gulat, rata-rata harga TBS sejak Februari-Mei 2020 lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Padahal di tahun ini terjadi pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan semua sendi-sendi perekonomian dunia.

Gulat mengatakan, harga TBS pada periode Februari-Mei 2020 relatif stabil di kisaran Rp1.600-Rp1.800 per kilogram (kg). Sementara itu pada periode yang sama tahun lalu harga rata-rata TBS petani hanya di kisaran Rp1.100 per kg, bahkan ada yang sampai di bawah Rp1.000.

Menurut Gulat, stabilnya harga TBS di angka yang menguntungkan petani ini dipicu oleh implementasi B30. Pasalnya, industri biodiesel per tahunnya membutuhkan sekitar 7,8 juta ton CPO. “Nah dengan terpakainya 7,8 juta ton CPO tersebut mengkatrol harga TBS,” kata Gulat.

Selain karena adanya penambahan pasar CPO di dalam negeri sebesar itu, kata Gulat, stabilnya harga TBS di tingkat yang menguntungkan petani tersebut juga dipicu oleh kebijakan Pemerintah Malaysia yang memberlakkan lock down.

Akibatnya, Malaysia sebagai produsen CPO nomor dua setelah Indonesia ini tidak bisa melakukan kegiatan ekspor.

Pemicu lainnya, kata Gulat, adanya tambahan permintaan dari industri sanitasi dunia. Sejak pandemi Covid-19 ini, permintaan dunia akan produk-produk sanitasi seperti sabun mandi, deterjen, hand sanitazer meningkat.

“Data yang saya dapat dari Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) pemanfaatan CPO untuk deterjen dan produk sanitasi lainnya, meningkat 2,5%-3,5% yang dikirim ke seluruh dunia,” katanya. (Fatkhul Maskur/Bambang Supriyanto/Bisnis)