Kongres Advokat Sebut Jaksa Kasus Novel Baswedan Bisa Disanksi

Senin, 15 Juni 2020

.

JAKARTA - Kongres Advokat Indonesia (KAI) menduga jaksa penuntut umum atau JPU yang menangani perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan tidak profesional dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Jika benar, jaksa tersebut dapat dikenai sanksi.

"Sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Etik Perilaku Jaksa, antara lain Pasal 3 dan Pasal 4," ujar Vice President KAI, Djuju Purwantoro dalam keterangan tertulis pada Senin, 15 Juni 2020.

Djuju berujar, Pasal 3 dalam peraturan itu menjelaskan bahwa seorang jaksa harus berpendirian, bertindak obyektif dan tidak memihak tanpa gangguan dari orang lain dan tidak boleh takut dengan ancaman seseorang.

Sementara di Pasal 4, dijelaskan tentang rekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara. Dalam menentukan tuntutan hukum yang akan dikenakan kepada terdakwa, kata Djudju, jaksa harus sesuai dengan fakta yuridis dan tidak boleh melakukan manipulasi atau memutar balikkan fakta.

Sementara itu menurut Djuju, sejak awal penyidikan perkara ini, sinyal adanya rekayasa kasus sudah mencuat. Dakwaan JPU disebut tampak kontradiktif dengan hasil penyelidikan sebelumnya yang dilakukan oleh tim gabungan independen Polri.

"Antara lain bahwa ada dugaan keras, keterkaitan antara serangan terhadap Novel dengan perkara-perkara yang sedang ia tangani," kata Djuju.

Selain itu, kejanggalan lain terlihat bahwa persidangan ini tidak cukup mendalami saksi - saksi kunci, orang-orang yang dicurigai dan pemeriksaan atau penyitaan barang bukti penting.

Djuju berujar, apa yang dilakukan oleh kedua terdakwa dalam kasus ini, yakni Ronny Bugis dan Rahmat Kadir tidak bisa dipisahkan dengan adanya kesengajaan yang menimbulkan suatu akibat. Untuk itu menurut dia, lelaku harus bertanggung jawab dengan menerima tuntutan hukum terberat.

Untuk itu, Djuju menilai majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara seyogyanya mengabaikan tuntutan jaksa, dengan mengadili dan memutuskan sendiri berdasarkan ke-Tuhanan, hati nurani dan bukti- bukti persidangan. "Peradilan sesat harus dihindari dalam perkara sehingga tidak mencederai rasa keadilan masyarakat," kata dia.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum yang diketuai Ahmad Patoni menuntut Rahmat Kadir Mahulettu dan Ronny Bugis dengan hukuman satu tahun penjara. Keduanya dijerat dengan Pasal 353 ayat 2 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau sesuai dengan dakwaan subsider.

Sementara itu, jaksa menganggap bahwa dakwaan primer yang berisi Pasal 355 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tidak terbukti secara sah dan meyakinkan untuk dijadikan landasan menuntut Ronny dan Rahmat. Jaksa beralasan, salah satu unsur dalam dakwaan primer tersebut tidak terbukti sehingga tidak dipakai untuk menjerat para terdakwa. Unsur yang dimaksud adalah 'dengan perencanaan terlebih dahulu'.

"Terdakwa tidak pernah berpikir untuk melakukan penganiayaan berat, melainkan terdakwa hanya akan memberikan pelajaran terhadap saksi Novel Baswedan dengan cara menyiramkan air keras ke badan Novel Baswedan. Namun ternyata perbuatan terdakwa di luar dugaan dengan mengenai mata saksi Novel Baswedan," ujar jaksa saat membacakan tuntutan terhadap Ronny di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis, 11 Juni 2020. (m yusuf manurung/juli hantoro/tempo)