Sri Mulyani: Kepanikan di Pasar Keuangan Mencapai Level Tertinggi

Rabu, 13 Mei 2020

Dari kiri Menhub Budi Karya Sumadi, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kepala Kantor Staf Presiden ( KSP) Moeldoko.(Foto: Instagram/@Sekretaria

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan kepanikan yang cukup tinggi di sektor keuangan.

Bahkan, menurut Sri Mulyani, tingkat kecemasan tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan masa periode krisis keuangan yang pernah beberapa kali terjadi. Pada pemilik modal menarik modalnya dari negara berkembang termasuk Indonesia dan memindahkan ke asset safe haven seperti emas dan dolar.

“Ada kepanikan di pasar keuangan, kepanikan mencapai level tertinggi sepanjang sejarah, arus modal keluar dari negara berkembang sangat besar. Arus perpindahan dari Indonesia ke luar kali ini lebih tinggi dari 2008 dan taper tantrum,” kata dia saat Sidang Paripurna DPR, Selasa 12 Mei 2020.

Penyebaran pandemi Covid-19 dalam 4 bulan terakhir menjalar sangat cepat dengan jumlah penderita sebanyak 4 juta dan 277.000 orang dilaporkan meninggal pada awal Mei ini. Di Indonesia, jumlah meninggal mencapai 991 orang. Jumlah penderita dan korban saat ini masih terus meningkat

Dia menjabarkan kegentingan ini menjadi alasan bagi pemerintah mengeluarkan Perpu nomor 1/2020 yang menjadi landasan hukum untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan.

Apalagi, dampak Covid sudah tampak pada pertumbuhan ekonomi global yang akan mengalami resesi. Pada Januari, IMF masih optimistis pertumbuhan ekonomi global sebesar 3 persen tapi pada April dikoreksi menjadi minus 3 persen.

Pada kuartal I/2020, sejumlah negara sudah mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif seperti Prancis -5,4 persen, Singapura -2,2 persen. Adapun, Indonesia kendati masih tumbuh positif 2,9 persen namun angka ini mengalami koreksi yang cukup dalam. “Ini bila tidak diantisipasi, akan menjalar ke sektor keuangan, meningkatkan kredit bermasalah, dan berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan." (Ali Akhmad Noor Hidayat/bisnis/tempo)