Ada ruang penurunan 25%, akankah harga BBM turun?

Sabtu, 02 Mei 2020

Pengisian BBM. {Foto: shutterstock)

JAKART . Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) masih memantik polemik di tanah air. Pemerintah dan badan usaha penyalur BBM belum juga menurunkan harga BBM sebagai penyesuaian dari tren merosotnya harga minyak mentah dunia.

PT Pertamina (Persero) dan badan usaha swasta berdalih penyesuaian harga akan menyesuaikan regulasi dari pemerintah. Di sisi lain, pemerintah tidak bergeming dan menyebut akan melakukan pembahasan terkait hal tersebut.

Menurut Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, perusahaan minyak dan gas pelat merah itu masih terus memonitor pergerakan harga minyak dunia. Berbarengan dengan itu, Pertamina pun melakukan kajian-kajian dan simulasi terkait pergerakan harga minyak terhadap penyesuaian harga BBM. "Pertamina juga menyesuaikan dengan regulasi pemerintah yang ada. Saya rasa, semua operator SPBU juga sama, sesuai dengan regulasi," kata Fajriyah kepada Kontan.co.id, Selasa (28/4).

Senada dengan itu, BP-AKR juga menyampaikan tanggapan serupa. BP-AKR menjadi salah satu badan usaha swasta yang bergerak di sektor penyaluran dan penjualan BBM melalui PT Aneka Petroindo Raya (APR), yang saat ini memiliki 15 jaringan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Seperti yang diberitakan Kontan.co.id, Brand and Communications Manager APR Syahran Wahab menyatakan, BP-AKR berkomitmen untuk selalu taat dan mengikuti peraturan yang berlaku. Syahran bilang, pihaknya menjaga komunikasi dengan pemerintah dalam seluruh kegiatan, termasuk untuk perubahan harga, pelaporan, dan spesifikasi teknis.

Secara bersamaan, sambungnya, BP-AKR terus memantau situasi terkini dan melakukan penyesuaian yang diperlukan. "BP-AKR selalu melakukan penyesuaian harga BBM sesuai dengan peraturan yang berlaku dan selalu berkomunikasi dengan baik, juga mengikuti arahan pemerintah Indonesia," kata Syahran.

Sementara itu, Vice President External Relation Shell Indonesia Rhea Sianipar mengatakan bahwa dalam bisnis BBM ini, pihaknya memperhitungkan banyak faktor, termasuk pilihan pasar. Rhea pun mengaku pihaknya akan mengikuti aturan pemerintah terkait dengan harga dan bisnis di sektor hilir ini.

"Untuk saat ini Shell akan terus berkerja sama dengan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terkait hal ini. Bisnis SPBU kami memperhitungkan banyak faktor termasuk pilihan pasar," kata Rhea.

Di sisi lain, pemerintah pun tampaknya akan segera mengambil kebijakan terkait penyesuaian harga BBM ini. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, penyesuaian harga BBM masih harus dibahas dalam rapat.

"Nanti pada waktunya akan diadakan rapat dan akan dijelaskan oleh kementerian terkait," ujar Airlangga usai rapat terbatas, Selasa (28/4) kemarin.

Ada Ruang Penurunan Harga

Harga BBM dalam negeri yang tak beranjak turun pun memantik polemik di ruang publik. Padahal, menurut Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, ruang penurunan harga BBM semestinya terbuka lebar di tengah kondisi saat ini.

Tauhid berpendapat, penurunan harga BBM di saat kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat tertekan dampak Corona (covid-19) bakal berdampak positif. "(Dampak penurunan harga BBM) akan besar sekali. Harga BBM turun turut membantu menurunkan tingkat inflasi dan menjadi kompensasi kenaikan harga yang lain," katanya.

Namun, dia menilai dengan melihat pergerakan komponen biaya pembentukan serta pelemahan nilai kurs rupiah saat ini, maka penurunan harga BBM tidak akan signifikan sebagaimana harga minyak mentah dunia yang anjlok drastis.

Menurutnya, harga BBM non-subsidi Pertamina paling tidak memiliki ruang penurunan di kisaran 20%-25% dari harga saat ini. Tauhid juga melihat, Pertamina akan sangat hati-hati menurunkan harga BBM dari sisi keekonomian bisnis dan korporasi lantaran holding migas BUMN itu juga bergerak di bisnis hulu migas yang sedang tertekan serta mengemban penugasan dari pemerintah.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan. Menurutnya, kebijakan penurunan harga BBM akan mudah untuk diambil jika perusahaan hanya bergerak di lini trading. Namun, kata Mamit, bagi perusahaan yang mengurusi bisnis hulu sampai hilir yang saling ketergantungan, pertimbangan keekonomiannya akan lebih rumit.

"Apalagi, di tengah masa pandemi kondisi hulu migas babak belur dan hilir terjadi penurunan konsumsi yang sangat signifikan," ujarnya.

Meski begitu, Mamit mengatakan bahwa ruang penurunan harga BBM non-subsidi terbuka di rentang Rp 1.000 - Rp 2.000 per liter. Ia memprediksi, dengan pertimbangan korporasi dan kondisi pandemi, penurunan harga BBM baru akan terlihat di awal Mei setelah pemerintah melakukan evaluasi.

"Kita lihat awal Mei karena sudah diatur periode (evaluasinya). Kalau rentang (penurunan) bisa Rp 1.000 - Rp 2.000 per liternya dengan banyak pertimbangan," kata Mamit.

Banyak pengamat dan praktisi migas yang melakukan analisis dan perhitungan terkait dengan ruang penurunan harga BBM. Salah satunya ialah Mantan Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini. Menurutnya, jika merujuk pada regulasi yang berlaku saat ini, maka harga BBM murah baru dapat dirasakan pada Juni mendatang.

Rudi memaparkan, dengan kondisi kurs rupiah ada di level Rp 15.800 per dolar Amerika Serikat (AS) dan harga MOPS sebesar US$ 35 per barel dan dengan rumus perhitungan yang ada maka harga jual BBM RON 92 (Pertamax) bisa berada pada kisaran Rp 5.650 per liter.

"Sementara pada Mei ini indikator yang dipakai adalah kondisi 25 Februari hingga 24 Maret dengan kurs sekitar Rp 15.300 per dolar AS dan harga minyak MOPS masih di US$ 50 per barel. Jadi Mei nanti harga akan berkisar Rp 7,100 per liter," jelas dia dalam video konferensi, Senin (27/4).

Terlindungi Regulasi?

Adapun, regulasi yang dirujuk Rudi adalah Keputusan Menteri ESDM Nomor 62K/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran BBM jenis bensin dan solar.

Asal tahu saja, Kepmen itu pun dipermasalahkan oleh sejumlah pengamat karena dinilai sebagai biang kerok sulitnya menurunkan harga BBM. Hal itu antara lain disampaikan oleh Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi.

Menurutnya, Kepmen yang diteken oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 28 Februari 2020 itu bermasalah pada penaikkan konstanta dan penetapan harga Means of Platts Singapore (MOPS) yang tidak sesuai dengan harga minyak dunia.

Baca Juga: Soal harga BBM, BP-AKR: Kami memantau situasi terkini dan menyesuaikan yang perlu

Adapun, formulasi harga dalam Kepmen ESDM Nomor 62K/MEM/2020 diatur sebagai berikut:
1. Untuk jenis Bensin dibawah RON 95 dan jenis Minyak Solar CN 48: MOPS atau Argus Rp 1.800/liter + Margin (10% dari harga dasar)
2. Untuk jenis Bensin RON 95, jenis Bensin RON 98 dan jenis Minyak Solar CN 51: MOPS atau Argus + Rp 2.000/liter + Margin (10% dari harga dasar).

"Padahal pada saat inilah (tren penurunan harga minyak dan pandemi corona) momentum yang paling tepat untuk menurunkan secara serentak harga BBM," kata Fahmy.

Selai Fahmy, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan juga melontarkan kritik terhadap beleid tersebut, yakni mengenai kenaikan nilai Alpha serta penghilangan batas minimal margin yang diganti dengan maksimal 10%.

"Menurut saya harus diubah perihal Alpha. Rp 1.800 dan Rp 2.000 harus sudah dihitung betul variabelnya. Marginnya harus ada batas bawah bukan cuma maksimal," tandasnya.(Ridwan Nanda Mulyana/Wahyu T.Rahmawati/kontan)